DOGIYAI, JELATANEWSPAPUA.COM – Wacana pemekaran Kabupaten Mapia Raya kembali menuai penolakan dari berbagai kalangan. Salah satu penolakan tegas datang dari Marianto Deba, seorang pemuda dan intelektual asal Kabupaten Dogiyai yang menyuarakan kekhawatiran atas dampak buruk pemekaran terhadap manusia dan alam di wilayah Mapia.
Dalam pernyataan terbuka Marianto menyebut bahwa pemekaran wilayah bukanlah bentuk pembangunan yang menyejahterakan, melainkan awal dari kehancuran yang terencana.
Ia menilai bahwa pemekaran akan membuka pintu bagi perampasan tanah adat dan eksploitasi sumber daya alam.
“Pemekaran Kabupaten Mapia Raya hanyalah membawa malapetaka, baik bagi manusia maupun alam Mapia. Ini bukan pembangunan, tapi perusakan yang terencana,” ungkapnya dengan nada tegas dan prihatin.
Menurut Marianto, pemekaran hanya menjadi dalih bagi masuknya investasi besar yang selama ini mengincar tanah–tanah adat masyarakat. Ia memperingatkan bahwa dampaknya bisa mencakup rusaknya hutan, tercemarnya sumber air, hingga hilangnya identitas budaya masyarakat Mapia.
Ia juga mengkritik keras proses perencanaan pemekaran yang disebutnya elitis dan tidak demokratis. Menurutnya, masyarakat Mapia tidak pernah dilibatkan secara menyeluruh dalam proses musyawarah terkait pembentukan kabupaten baru itu.
“Tidak ada jaminan pemekaran ini akan membawa kesejahteraan. Yang kami lihat justru tanah–tanah adat akan dijadikan objek investasi, dan rakyat hanya jadi penonton di atas penderitaan sendiri,” ujarnya.
Deba mengingatkan bahwa dibalik tawaran pemekaran, tersembunyi kepentingan politik dan ekonomi yang didorong oleh segelintir elit. Ia menduga, dorongan tersebut bukan demi pelayanan publik atau keadilan pembangunan, melainkan demi kekuasaan dan keuntungan pribadi.
Ia meminta masyarakat Mapia agar tidak mudah terbuai dengan janji-janji pembangunan dari pihak-pihak yang tidak memiliki komitmen terhadap nilai-nilai masyarakat adat. Menurutnya, janji-janji itu hanya topeng dari upaya sistematis untuk mengambil alih tanah dan sumber daya.
“Kita tidak butuh kabupaten baru kalau hanya akan menjadi pintu masuk bagi penguasa dan investor. Kita butuh perlindungan atas tanah, hutan, dan masa depan kita sebagai orang Mapia, Dogiyai, dan Papua pada umumnya,” tambahnya dengan nada emosional.
Penolakan ini, menurut Marianto, bukan hanya sikap pribadinya, tetapi telah menjadi sikap kolektif dari para pemuda, tokoh adat, dan masyarakat sipil di Dogiyai yang melihat bahwa pemekaran tanpa arah jelas hanya akan memperburuk kondisi sosial masyarakat.
Ia menekankan pentingnya pembangunan yang berakar pada nilai-nilai lokal dan berbasis pada kearifan masyarakat adat.
Bagi mereka, pembangunan sejati bukanlah memekarkan wilayah, tetapi melindungi tanah dan memperkuat struktur sosial budaya yang ada.
Mereka mendesak pemerintah agar menghentikan proses pemekaran dan melakukan evaluasi menyeluruh dengan melibatkan semua pihak, terutama masyarakat adat sebagai pemilik sah wilayah Mapia.
Bagi Marianto dan kelompoknya, keadilan sosial, pelestarian lingkungan, dan penghormatan terhadap hak-hak adat adalah prinsip dasar yang tidak boleh dikorbankan atas nama pembangunan.
Ia menilai, pendekatan pembangunan yang dipaksakan dari atas hanya akan melahirkan konflik sosial baru, memperlebar kesenjangan, dan merusak relasi harmonis masyarakat dengan alam.
Sebagai penutup, Marianto Deba mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu menjaga tanah leluhur. Ia yakin, hanya dengan mempertahankan hutan dan sumber kehidupan, masyarakat Mapia dapat terus hidup bermartabat dan berdaulat di atas tanahnya sendiri.
Penegasan Marianto menjadi simbol perlawanan terhadap arus pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Ia berharap, suara dari akar rumput seperti yang ia wakili dapat menjadi bahan pertimbangan utama bagi para pengambil kebijakan di tingkat atas.