JAYAPURA, JELATANEWSPAPUA.COM – Komite Nasional Papua Barat (KNPB) mendesak aparat penegak hukum untuk segera memproses penyiksaan terhadap empat aktivis KNPB oleh personel TNI di Yahukimo, Papua. Peristiwa itu dilaporkan terjadi pada 12 Juli 2025 lalu.
Dalam siaran pers yang diterima pada Jumat (18/07), KNPB menyampaikan sikap tegas terhadap tindakan kekerasan yang dialami oleh empat anggotanya. Mereka adalah Deko Kobak, Jek Amohoso, Sinduk Kobak, dan Ronald.
Keempat aktivis tersebut ditangkap oleh sekelompok personel Marinir TNI tanpa menunjukkan surat perintah resmi. Penangkapan dilakukan saat mereka berada di sekretariat KNPB Yahukimo.
Menurut laporan, para korban langsung dipukuli, diikat, dan matanya dilakban sebelum dimasukkan ke dalam kendaraan Dalmas. Dalam perjalanan menuju Koramil Yahukimo, mereka disebut terus mengalami kekerasan fisik hingga dua orang mengalami ketakutan ekstrem.
Setibanya di Koramil, keempat aktivis itu mengalami penyiksaan selama empat jam secara intensif. Mereka ditendang, dipukul, dilakban wajahnya, bahkan direndam ke dalam drum berisi air sambil dipaksa mengaku sebagai anggota kelompok bersenjata.
Salah satu dari mereka, Jek Amohoso, disebut mendapatkan perlakuan yang lebih berat dibanding lainnya. Ia dipisahkan dan disiksa secara terpisah dengan cara yang dinilai tidak manusiawi.
Pada pukul 03.00 dini hari, mereka kemudian dibawa ke Polres Yahukimo. Di sana, kekerasan kembali berlanjut, bahkan rambut dan jenggot mereka dibakar dengan korek api.
Keesokan paginya, mereka sempat dibawa ke rumah sakit untuk penanganan luka. Namun, menurut KNPB, perawatan yang diberikan sangat terbatas dan tidak memadai.
Hasil interogasi kepolisian tidak menemukan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para aktivis. Mereka dinyatakan tidak bersalah meski telah mengalami serangkaian tindakan kekerasan.
Akibat peristiwa itu, Deko Kobak mengalami luka robek di dagu hingga kesulitan makan. Sementara Jek Amohoso mengalami luka pada bagian kepala yang harus dijahit.
Dua aktivis lainnya, Sinduk Kobak dan Ronald, juga mengalami luka berat dan kesulitan berdiri. Kondisi fisik dan psikologis mereka dilaporkan sangat memprihatinkan.
KNPB menilai peristiwa tersebut sebagai bentuk pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Tindakan terhadap warga sipil yang tidak bersenjata disebut sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan.
Atas dasar itu, KNPB menyampaikan empat tuntutan kepada otoritas nasional dan internasional. Mereka meminta agar semua pihak yang terlibat bertanggung jawab sesuai hukum yang berlaku.
Pertama, Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Laut diminta segera menarik pasukan Marinir dari Yahukimo dan wilayah sipil Papua. Menurut KNPB, keberadaan pasukan tersebut justru menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat.
Kedua, Kapolri dan Komnas HAM didesak membentuk tim independen untuk menyelidiki kasus ini secara terbuka dan objektif. Penyelidikan ini dinilai penting untuk menjamin keadilan bagi para korban.
Ketiga, Kejaksaan Agung RI diminta menetapkan para pelaku sebagai tersangka dan memproses mereka melalui pengadilan umum. KNPB menolak penggunaan peradilan militer dalam kasus ini.
Keempat, KNPB meminta campur tangan dari komunitas internasional. Khususnya Komite PBB untuk Anti Penyiksaan (CAT) dan Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan.
KNPB juga menyoroti adanya pelanggaran hukum dalam peristiwa ini. Di antaranya Pasal 351 dan 421 KUHP, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta Konvensi Anti Penyiksaan PBB.
Organisasi ini menegaskan bahwa kekerasan akan terus berlangsung selama pendekatan militer digunakan untuk merespons aspirasi damai rakyat Papua. Negara dinilai harus mengambil tanggung jawab atas tindakan aparatnya.
KNPB menyerukan penghentian penyiksaan terhadap masyarakat sipil di Papua. Mereka menekankan bahwa suara rakyat tidak dapat dibungkam dengan senjata.
“Kami tidak akan diam terhadap kekerasan yang terus terjadi,” tegas pernyataan resmi KNPB. “Hukum harus ditegakkan dan para pelaku harus diadili tanpa impunitas.”