Oleh: Agustinus Dogomo*)
Blok Wabu, sebuah kawasan kaya emas yang terletak di Kabupaten Intan Jaya, Papua, kembali menjadi perbincangan publik. Potensi sumber daya alam (SDA) di kawasan ini menarik perhatian banyak pihak, mulai dari investor nasional hingga kepentingan global yang melibatkan negara dan korporasi besar.
Namun, di balik segala potensi ekonomi itu, masyarakat Papua menyuarakan kegelisahan yang mendalam. Mereka melihat adanya kecenderungan bahwa upaya pembukaan kawasan tambang di Blok Wabu sering kali disertai peningkatan kehadiran aparat keamanan, khususnya TNI dan Polri.
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai laporan menunjukkan terjadinya konflik bersenjata, pengungsian warga, dan kekerasan yang menyertai operasi keamanan di Intan Jaya. Salah satu titik utama yang menjadi latar dari ketegangan ini adalah kawasan Blok Wabu itu sendiri, yang disebut-sebut akan menjadi lokasi tambang emas berskala besar pengganti Freeport.
Pendropan pasukan keamanan ke wilayah ini dinilai masyarakat sipil sebagai bagian dari agenda untuk mengamankan proyek-proyek ekstraktif. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pendekatan militeristik akan terus digunakan sebagai instrumen untuk memuluskan kepentingan ekonomi di atas penderitaan rakyat.
Kelompok masyarakat sipil, gereja, mahasiswa, dan tokoh adat di Papua telah menyatakan penolakan terhadap segala bentuk eksploitasi tambang di Blok Wabu. Mereka menyampaikan bahwa tanah ini merupakan bagian dari kehidupan spiritual dan sosial masyarakat adat Papua, bukan sekadar aset ekonomi.
Kritik terhadap proyek-proyek tambang seperti Blok Wabu juga datang dari berbagai organisasi hak asasi manusia, baik nasional maupun internasional. Amnesty International dalam laporannya menyebutkan bahwa ekspansi pertambangan di Papua, khususnya yang didukung oleh pendekatan keamanan, sering kali mengarah pada pelanggaran HAM.
Laporan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Sumber Daya Alam pada tahun 2022 juga menyoroti bahwa proyek Blok Wabu tidak melibatkan persetujuan masyarakat adat secara bebas, didahului oleh informasi yang cukup, dan tanpa paksaan (Free, Prior and Informed Consent/FPIC). Hal ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar yang diatur dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.
Kehadiran militer dalam proyek tambang telah menimbulkan trauma bagi banyak keluarga di Intan Jaya. Warga terpaksa mengungsi, sekolah ditutup, rumah ibadah sepi, dan kebun-kebun yang selama ini menjadi sumber pangan tak lagi dapat dikelola dengan aman.
Pembangunan yang sejatinya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seharusnya tidak menimbulkan ketakutan. Tanah Papua membutuhkan pendekatan yang manusiawi, adil, dan partisipatif, bukan kekerasan dan paksaan.
Aksi damai yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat di Nabire pada 17 Juli 2025 menjadi ekspresi nyata dari penolakan terhadap eksploitasi Blok Wabu. Seruan “Tanah Ini Milik Leluhur Kami, Bukan untuk Tambang dan Senjata” menggema di berbagai titik di kota itu sebagai bentuk aspirasi damai.
Mereka yang turun ke jalan membawa suara warga Intan Jaya yang tak bisa bersuara di tengah ketakutan dan militerisasi. Aspirasi mereka mewakili harapan akan masa depan Papua yang damai, berdaulat atas tanahnya sendiri, dan bebas dari tekanan kekuasaan ekonomi dan militer.
Pemerintah Republik Indonesia diharapkan tidak menutup mata dan telinga terhadap suara rakyat kecil di pedalaman Papua. Penolakan terhadap tambang bukanlah penolakan terhadap pembangunan, melainkan seruan untuk pembangunan yang adil dan bermartabat.
Untuk itu, segala rencana eksploitasi tambang di Blok Wabu perlu dihentikan sementara hingga ada proses dialog yang transparan, adil, dan partisipatif. Termasuk di dalamnya penghormatan terhadap hak masyarakat adat Papua atas tanah ulayat mereka.
Pendropan militer di wilayah sipil seperti Intan Jaya harus segera dievaluasi. Sebab pendekatan keamanan yang tak berpihak pada rakyat hanya akan memperpanjang konflik dan menambah luka sejarah.
Penulis adalah Masyarakat yang tinggal di Dogiyai