NABIRE, JELATANEWSPAPUA.COM – Anggota DPD RI asal Papua Tengah, Eka Kristina Yeimo, S.Pd., M.Si., melontarkan kritik tajam dan berbasis data terhadap pemerintah pusat dalam Rapat Dengar Pendapat atau RDP bersama Dirjen Anggaran, Dirjen Perimbangan Keuangan, dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) di Senayan, Jakarta, Rabu (7/5).
Forum ini membahas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang semestinya menjadi instrumen fiskal untuk meningkatkan kesejahteraan daerah penghasil, termasuk Papua.
Eka menyampaikan keprihatinannya yang mendalam terhadap ketidaktransparanan kontribusi yang diberikan oleh PT Freeport Indonesia serta ketimpangan akut dalam distribusi Dana Bagi Hasil (DBH) ke Papua. Meski pemerintah menyebut persentase pembagian—80 persen untuk daerah, 20 persen untuk pusat—angka nominal yang seharusnya dapat diuji publik tidak pernah dipublikasikan secara jelas.
“Kami hanya disuguhi angka persentase, tapi nominal riilnya tidak pernah dibuka. Katanya Rp5 sampai Rp6 triliun, tapi tidak ada laporan resmi yang bisa diakses publik. Papua punya hak untuk tahu! Ini menyangkut prinsip transparansi dan akuntabilitas fiskal,” tegasnya.
Dalam kerangka tata kelola keuangan negara, ketertutupan informasi ini menunjukkan lemahnya akuntabilitas fiskal dan menjadi bukti bahwa prinsip keadilan distributif belum dijalankan secara utuh. Eka juga menyoroti konstruksi stigma 3T—Tertinggal, Terbelakang, Termiskin—yang hingga kini masih dilekatkan pada Papua, padahal provinsi ini merupakan salah satu lumbung kekayaan alam nasional.
“Sudah hampir 80 tahun Indonesia merdeka, tapi Papua tetap disebut daerah 3T. Ini bukan sekadar narasi, tapi bentuk ketidakadilan struktural. Kami ini penyangga ekonomi nasional, tapi hidup dalam ketimpangan. Salahnya di mana? Apakah pada pusat yang tak transparan, atau pada daerah yang tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan?” ujar Eka dengan nada kritis.
Ia juga menyoroti fakta lapangan bahwa keterlambatan pencairan DBH dari pemerintah pusat berakibat langsung pada stagnasi pembangunan dan memperbesar kesenjangan antarwilayah. Dalam perspektif pembangunan regional, kondisi ini menunjukkan kegagalan fungsi intervensi fiskal untuk mengoreksi ketimpangan spasial.
“Jika Pemda salah kelola, saya tidak segan menegur. Tapi kalau pusat yang lalai atau bahkan menahan hak kami, saya akan bicara lantang. Fungsi DPD adalah pengawasan dan pembelaan terhadap hak-hak daerah, dan saya berdiri di sini untuk itu,” tegas Eka.
Lebih lanjut, Eka mengungkapkan kekhawatiran bahwa kontribusi PNBP dari Papua justru digunakan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur di daerah lain yang lebih cepat menyerap anggaran, sementara Papua terus berada di pinggiran distribusi fiskal.
“Jika Papua dianggap beban, padahal faktanya kami adalah kontributor utama PNBP nasional, maka kita patut bertanya: untuk siapa sesungguhnya Indonesia ini dibangun? Jika pemerintah pusat tidak mampu membiayai pembangunan Papua secara adil, katakanlah dengan jujur!” sindirnya.
Eka menekankan bahwa masyarakat Papua tidak menuntut perlakuan istimewa, tetapi meminta haknya secara adil. Ia mendesak agar pemerintah pusat segera membuka secara publik data kontribusi nominal PNBP Freeport dan DBH Papua, melibatkan pemerintah daerah dalam proses perumusan kebijakan fiskal, dan memastikan pencairan dana yang adil, tepat waktu, serta proporsional.
“Keadilan fiskal bukan sekadar perhitungan angka-angka. Ia adalah perwujudan dari pengakuan terhadap hak konstitusional daerah, kedaulatan sumber daya, dan legitimasi pembangunan yang partisipatif dan inklusif. Pembangunan Papua bukan hanya soal Papua—ini soal keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” pungkas Eka.