Oleh: Honny Pigai
Negara ada untuk melindungi hak-hak individu dan memastikan bahwa setiap warga negara dapat menikmati kebebasan mereka tanpa ancaman dari pihak lain. Jika negara gagal menciptakan kondisi ini, maka ia juga gagal menjalankan fungsi utamanya sebagai pelindung hak asasi manusia. [PIGAI, honny]
Kata Awal
Kebebasan berpendapat dan demokrasi merupakan dua pilar utama dalam tatanan politik modern yang mendukung hak asasi manusia dan perkembangan sosial yang adil. Di berbagai wilayah di dunia, keduanya dianggap sebagai prasyarat untuk kemajuan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan. Di Papua kebebasan berpendapat dan prinsip-prinsip demokrasi sering kali terpinggirkan dalam konteks dinamika politik dan keamanan. Fenomena ini mengundang pertanyaan mendalam tentang sejauh mana prinsip-prinsip filosofis yang mendasari kebebasan berpendapat dan demokrasi dihormati dan diterapkan di Papua. Catatan ini menelusur lumpuhnya kebebasan berpendapat dan demokrasi di Papua melalui lensa filsafat politik, dengan mempertimbangkan konsep-konsep kebebasan, otoritas, dan hak asasi manusia.
Kebebasan Berpendapat: Perspektif Filsafat
Dalam filsafat politik, kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak fundamental yang dijunjung tinggi oleh para filsuf, mulai dari John Stuart Mill hingga Immanuel Kant. John Stuart Mill, dalam karyanya On Liberty, menekankan pentingnya kebebasan berpendapat sebagai sarana untuk mencapai kebenaran dan kemajuan moral. Mill berargumen bahwa pembatasan terhadap kebebasan berpendapat tidak hanya merugikan individu yang dibungkam, tetapi juga seluruh masyarakat yang kehilangan kesempatan untuk mendengarkan pandangan alternatif yang mungkin lebih benar atau lebih mendekati kebenaran.
Di Papua, kebebasan berpendapat sering kali dibatasi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang berfokus pada stabilitas keamanan. Pendekatan ini bisa dilihat sebagai bentuk paternalisme yang bertujuan melindungi masyarakat dari bahaya disintegrasi, tetapi dalam praktiknya sering kali berujung pada penindasan terhadap pandangan-pandangan yang berbeda. Dari perspektif Mill, pembatasan semacam ini tidak hanya tidak sah secara moral, tetapi juga merugikan perkembangan intelektual dan moral masyarakat Papua secara keseluruhan.
Immanuel Kant, dalam pandangannya tentang kebebasan, juga menekankan bahwa kebebasan individu harus dihormati sejauh itu tidak melanggar hak orang lain. Dalam konteks Papua, jika kebebasan berpendapat dibungkam atas nama kepentingan keamanan, maka kebebasan individu dan martabat manusia diabaikan. Pembungkaman ini, dari sudut pandang Kantian, merupakan pelanggaran terhadap prinsip otonomi dan kebebasan moral individu, yang seharusnya menjadi dasar dari setiap tindakan dan kebijakan pemerintah.
Demokrasi dan Legitimasinya
Filsafat politik juga memberikan landasan kuat bagi pentingnya demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang paling menghormati kebebasan individu dan hak asasi manusia. Jean-Jacques Rousseau, dalam bukunya The Social Contract, mengemukakan bahwa kedaulatan rakyat adalah sumber utama dari legitimasi politik. Dalam pandangan Rousseau, demokrasi adalah cara terbaik untuk mewujudkan kehendak umum (general will) dan menjamin bahwa kekuasaan politik dijalankan sesuai dengan kepentingan semua anggota masyarakat.
Di Papua, lumpuhnya demokrasi tercermin dalam berbagai kebijakan yang cenderung top-down dan kurang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan. Proses-proses politik di Papua sering kali dipandang sebagai formalitas yang tidak mencerminkan kehendak rakyat Papua secara autentik. Situasi ini memperkuat ketidakpercayaan antara masyarakat Papua dan pemerintah pusat, serta memperlemah legitimasi politik di mata rakyat Papua.
Dari perspektif Rousseau, pemerintahan yang tidak mendengarkan kehendak rakyatnya secara nyata tidak memiliki legitimasi moral. Jika demokrasi di Papua hanya berjalan secara prosedural tanpa substansi, maka sistem tersebut kehilangan esensinya sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial dan politik. Demokrasi yang lumpuh ini tidak hanya gagal memenuhi fungsi utamanya, tetapi juga menimbulkan ketidakpuasan yang mendalam di kalangan masyarakat Papua, yang merasa diabaikan dan tidak diberdayakan.
Kekuasaan, Otoritas, dan Penggunaan Kekuatan
Dalam filsafat politik, kekuasaan dan otoritas selalu menjadi dua konsep yang saling terkait namun berbeda. Max Weber, seorang sosiolog dan filsuf, membedakan antara kekuasaan yang sah (legitimasi) dan kekuasaan yang hanya didasarkan pada penggunaan kekuatan (koersi). Kekuasaan yang sah adalah kekuasaan yang diakui oleh rakyat sebagai legitim dan beralasan, sementara koersi adalah penggunaan kekuatan tanpa legitimasi moral atau hukum yang jelas.
Di Papua, pemerintah Indonesia sering kali menggunakan pendekatan kekuatan untuk mengendalikan situasi politik dan keamanan. Namun, penggunaan kekuatan ini sering kali dilihat oleh masyarakat Papua sebagai tindakan koersi yang tidak memiliki legitimasi moral. Ketidakpercayaan terhadap otoritas pemerintah pusat ini diperparah oleh sejarah panjang ketegangan politik dan sosial di Papua, yang telah menimbulkan luka mendalam di kalangan masyarakat Papua.
Pendekatan Weberian terhadap kekuasaan menyoroti pentingnya legitimasi dalam setiap tindakan pemerintah. Jika tindakan pemerintah di Papua dilihat sebagai bentuk koersi yang tidak sah, maka hal ini tidak hanya merusak hubungan antara pemerintah dan masyarakat Papua, tetapi juga memperlemah otoritas moral pemerintah itu sendiri. Penggunaan kekuatan tanpa legitimasi yang jelas akan menghasilkan ketidakstabilan jangka panjang dan memperburuk situasi di Papua.
Hak Asasi Manusia dan Tanggung Jawab Negara
Filsafat hak asasi manusia menempatkan kebebasan berpendapat dan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan sebagai hak-hak fundamental yang harus dilindungi oleh negara. Menurut filosofi hak asasi manusia, seperti yang diartikulasikan oleh para filsuf seperti John Locke dan Thomas Hobbes, negara ada untuk melindungi hak-hak individu dan memastikan bahwa setiap warga negara dapat menikmati kebebasan mereka tanpa ancaman dari pihak lain.
Dalam konteks Papua, pemerintah memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk melindungi hak-hak masyarakat Papua, termasuk hak mereka untuk berpendapat dan berpartisipasi dalam pemerintahan. Namun, ketika kebebasan berpendapat dan demokrasi dibatasi, negara gagal memenuhi tanggung jawab ini. Dari perspektif hak asasi manusia, pembatasan semacam ini adalah bentuk pelanggaran terhadap hak-hak fundamental masyarakat Papua dan harus dikritik serta diperbaiki.
Kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia juga mencakup upaya untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pelaksanaan hak-hak tersebut. Ini termasuk memastikan bahwa masyarakat Papua dapat mengakses informasi yang bebas dan berimbang, serta memiliki ruang untuk berdialog dan menyuarakan pandangan mereka tanpa rasa takut akan represi. Jika negara gagal menciptakan kondisi ini, maka ia juga gagal menjalankan fungsi utamanya sebagai pelindung hak asasi manusia.
Kata Akhir
Lumpuhnya kebebasan berpendapat dan demokrasi di Papua bukanlah sekadar masalah politik, tetapi juga masalah moral yang mendalam. Dari perspektif filsafat politik, situasi di Papua mencerminkan kegagalan dalam menghormati prinsip-prinsip kebebasan, otoritas, dan hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia perlu melakukan refleksi mendalam tentang pendekatan mereka terhadap Papua dan mempertimbangkan kembali kebijakan-kebijakan yang telah menghambat kebebasan berpendapat dan demokrasi di wilayah ini.
Rekomendasi utama yang dapat diajukan adalah perlunya dialog. Dialog ini harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Selain itu, pemerintah perlu menjamin kebebasan pers dan akses informasi di Papua, agar masyarakat dapat terlibat secara penuh dalam proses demokratis.
Pada akhirnya, penghormatan terhadap kebebasan berpendapat dan demokrasi bukan hanya soal memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga soal menjalankan tanggung jawab moral sebagai negara yang mengaku menjunjung tinggi hak asasi manusia. Jika Indonesia ingin mempertahankan integritasnya sebagai negara demokratis, maka langkah-langkah konkret harus diambil untuk menghidupkan kembali kebebasan berpendapat dan demokrasi di Papua. (*)