NABIRE, JELATANEWSPAPUA.COM – Forum Independen Mahasiswa West Papua Komite Pimpinan Kota (FIM-WP KPK) Nabire menggelar kampanye dalam rangka 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) yang berlangsung selama 25 November hingga 10 Desember 2025.
Kegiatan ini dilaksanakan bertempat di Asrama Mahasiswa Intan Jaya, Kota studi Nabire, Papua Tengah, Selasa (02/12/2025). Fokus aksi ini adalah menyuarakan perlindungan bagi perempuan dan anak yang hingga kini menjadi korban terdampak konflik bersenjata di berbagai wilayah Tanah Papua, terutama di Intan Jaya dan Puncak Jaya.
Kampanye tersebut dilakukan sebagai bentuk perhatian terhadap situasi pengungsi yang kian memprihatinkan. Ribuan warga sipil masih berada di lokasi pengungsian karena merasa tidak aman kembali ke kampung halaman akibat kontak tembak antara aparat keamanan Indonesia dan kelompok bersenjata TPNPB-OPM. Kondisi ini disebut berdampak paling besar terhadap perempuan dan anak sebagai kelompok rentan.
Perwakilan FIM-WP KPK Nabire, Linda Mote, menegaskan pentingnya momentum ini untuk menyadarkan negara akan kewajibannya dalam memenuhi hak dasar masyarakat yang hidup di wilayah konflik.
“Kegiatan ini dilakukan untuk kampanye 16 HAKTP 2025, melihat kondisi pengungsian warga sipil, terutama perempuan dan anak di wilayah konflik. Kami berharap supaya warga sipil mendapatkan hak ruang hidup yang damai dan aman, pendidikan yang memadai untuk anak-anak, serta kesehatan yang baik,” ujarnya.
Menurut Linda, perempuan harus menjadi perhatian utama negara karena berperan vital dalam menjaga keberlangsungan hidup keluarga. Namun dalam situasi konflik, merekalah yang justru kehilangan akses terhadap layanan dasar dan rasa aman.
Kesaksian dari Daerah Konflik
Narasumber dalam kegiatan ini, Melkiana Dendegau, perempuan asal Intan Jaya, turut menyampaikan situasi yang dialami masyarakat di daerahnya. Menurutnya, konflik yang berkepanjangan telah memisahkan warga sipil dari hak hidup mereka yang paling dasar.
“Warga sipil menjadi korban karena konflik antara aparat keamanan dan TPNPB-OPM. Mereka tidak mendapatkan hak ruang aman untuk hidup. Akses pendidikan sangat terbatas, dan fasilitas kesehatan pun tidak memadai,” ungkap Melkiana.
Ia menambahkan, banyak perempuan mengalami tekanan psikis dan trauma berkepanjangan karena harus menyaksikan kekerasan bersenjata, kehilangan keluarga, dan hidup dalam ketidakpastian di pengungsian.
Data Pengungsian Meningkat Sejak 2018 Versi FIM-WP KPK Nabire
FIM-WP KPK mencatat sejak tahun 2018 hingga Oktober 2025, lebih dari 103.000 warga Papua telah mengungsi akibat konflik bersenjata. Mereka tersebar di berbagai titik pengungsian di hutan, gua, maupun wilayah-wilayah kota yang dianggap lebih aman.
Keterbatasan akses kesehatan menyebabkan banyak perempuan mengalami kehamilan berisiko, bayi mengalami gizi buruk, dan penyakit menular menyebar. Sementara anak-anak terancam kehilangan masa depan karena tidak dapat mengikuti pendidikan formal secara konsisten.
Selain itu, laporan yang masuk ke FIM-WP KPK menyebut adanya dugaan intimidasi, kekerasan psikis, hingga pemaksaan perpindahan tempat tinggal yang memperburuk kualitas hidup pengungsi.
Pemerintah Indonesia Diminta Bertanggung Jawab
FIM-WP KPK menilai pemerintah daerah dan pusat memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan pemenuhan hak anak dan perempuan sesuai dengan amanat UUD 1945 sebagaimana disebutkan pasal 28B ayat 2 . Negara disebut tidak boleh lepas tangan terhadap krisis kemanusiaan yang melanda penduduk sipil Papua.
FIM-WP KPK menyampaikan lima tuntutan utama sebagai sikap resmi organisasi:
1. Hentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayah konflik Papua.
2. Sediakan ruang aman yang layak dan manusiawi bagi pengungsi.
3. Pastikan layanan kesehatan yang memadai untuk perempuan dan anak.
4.Tarik pasukan militer organik maupun non-organik dari wilayah permukiman penduduk.
5. Sediakan akses pendidikan layak untuk anak-anak pengungsi.
FIM-WP KPK menegaskan bahwa upaya penanganan krisis kemanusiaan di Papua harus dilakukan secara komprehensif, melibatkan semua pihak, dan yang paling penting mendengarkan suara perempuan sebagai kelompok yang paling merasakan dampak buruk konflik.
Suara Perempuan Papua Harus Didengar
Mengakhiri kegiatan, para peserta kampanye menyatakan bahwa negara tidak boleh menutup mata terhadap situasi ini. Ketika konflik terus terjadi, yang paling menderita adalah mereka yang tidak memiliki senjata perempuan dan anak-anak.
Kampanye ini diharapkan mampu membuka ruang dialog lebih luas agar pemerintah segera mengambil langkah cepat dan tepat dalam pemulihan kemanusiaan serta pengembalian hak-hak sipil masyarakat Papua. (*)