Oleh : Elias Awekidaby Gobai, Pemuda Katolik di Keuskupan Jayapura/
Malam di Pastoran Kristus Raja Siriwini, Nabire, biasanya sunyi. Angin dari laut mendorong tirai tipis, lampu neon di ruang tengah menggantung redup di antara tumpukan buku dan map laporan. Pada suatu malam tahun 2014 menjelang 2015, suasana tenang itu menjadi saksi sebuah percakapan yang sederhana tapi membekas seumur hidup.
Elias, seorang muda yang sedang libur, datang berkunjung. Ia tidak bermaksud mencari wejangan. Ia hanya ingin menyapa dan menghabiskan waktu di pastoran yang ia kenal sejak kecil. Namun malam itu, tanpa ia sadari, ia sedang menapaki pelajaran filsafat hidup dari seorang imam yang kelak akan dikenang sebagai Vikaris Jenderal Keuskupan Timika, dan sebagai salah satu suara kebijaksanaan Papua: Pastor Natalis (Nato) Gobay, Pr.
Ketika Elias melangkah masuk, ia melihat sesuatu yang tidak biasa: rak buku besar penuh debu di sudut ruangan, tumpukan dokumen MUBES, dan di tengahnya duduk Pastor Nato. Kacamata beliau melorot ke bawah hidung, rambut dan kumisnya sudah putih seluruhnya. Di tangannya terbuka sebuah buku tebal yang tampak usang di tepi, seperti sudah berkali-kali dibaca.
Elias menunduk, merasa kikuk. Ia tidak tahu harus menyapa bagaimana. Tiba-tiba suara pelan namun tajam memecah keheningan.
“Kamu lihat saya sedang buat apa?” tanya sang pastor tanpa mengangkat wajah.
Elias diam. Lalu suara itu datang lagi, kali ini lebih tegas, “Kamu lihat saya baik-baik, rambut saya putih, kumis saya putih. Tapi saya tetap membaca. Karena membaca mengajarkan kita memahami hidup. Kamu juga harus membaca, menulis, dan menjadikan itu bagian dari hidupmu.”
Kata-kata itu jatuh seperti biji yang kemudian tumbuh menjadi akar panjang di ingatan Elias. Saat itu ia tidak menjawab, hanya mengangguk. Tapi bertahun-tahun kemudian, setelah sang pastor tiada, kalimat itu terus terngiang: bahwa membaca bukan sekadar mencari tahu, melainkan cara mencintai kehidupan.
Sosok di Balik Kisah Ini :
Pastor Nato Gobay bukan sekadar imam; ia adalah filsuf lapangan, yang menjembatani dunia rohani dengan dunia nyata. Lahir di tanah Papua dan ditahbiskan pada 13 Juni 1988 di Enarotali, ia adalah imam ketiga dari Suku Mee setelah Pastor Theo Makai dan Pastor Jeck Mote. Tahbisannya bertepatan dengan Pesta Emas 50 Tahun Imamat Pater Alphonse Tilemans, MSC, misionaris yang menanam benih Gereja di Paniai.
Sejak saat itu, perjalanan imamatnya menjelajahi banyak tempat: Di Kokonao, ia belajar hidup bersama umat pesisir, berbagi garam dan doa.
Di Biak, ia menanamkan semangat pendidikan kepada para katekis muda.
Di Bilogai, ia memimpin umat di tengah kabut gunung dan keterbatasan.
Di Nabire, ia menjadi pemikir pastoral, merancang Musyawarah Besar (MUBES) Gereja Kristus Raja Nabire, forum refleksi iman dan sosial umat Katolik Papua.
Sebagai imam, ia punya satu kebiasaan unik: selalu membawa buku di tas lusuhnya. Dalam misa, ia bisa mengutip Injil dan Plato dalam satu tarikan napas. Ia sering berkata pada katekis muda, “Kalau kamu berhenti membaca, kamu berhenti bertumbuh. Kalau kamu berhenti menulis, kamu berhenti mengingat.”
Bagi banyak orang, Pastor Nato adalah pembaca dunia orang yang melihat hidup seperti teks yang bisa ditafsirkan ulang setiap hari. Ia keras terhadap diri sendiri, tapi lembut terhadap umat. Ia tidak menyukai kemewahan, hanya meja kayu, secangkir kopi, dan waktu untuk membaca sebelum tidur.
Hidup Menjadi Pengajaran :
Tahun 2014–2015 menjadi periode reflektif bagi Pastor Nato. Sebagai Vikjen/Wakil Uskup Keuskupan Timika, ia tidak hanya mengurus administrasi, tetapi juga menyiapkan MUBES Gereja Kristus Raja Nabire, yang ia anggap sebagai langkah teologis penting: menghidupkan partisipasi umat, membicarakan arah pastoral, dan meneguhkan kembali iman Katolik dalam konteks budaya Papua.
Ia mengatur rapat siang dan malam, menulis sendiri rancangan agenda, dan menolak membebankan biaya pada umat miskin. Setelah Mubes selesai, beliau berkata pada Elias dan beberapa rekan imam, “Saya akan ke Jayapura. Saya mau urus biaya supaya semua beres. Gereja tidak boleh punya utang pada umatnya.”
Itu adalah kalimat terakhir yang diingat banyak orang. Di Jayapura, tubuhnya mendadak lemah. Ia sempat dirawat, lalu menghembuskan napas terakhir. Berita kematiannya menyebar cepat: “Vikjen/Wakil Uskup Keuskupan Timika, Pastor Nato Gobay, telah pulang ke rumah Bapa.”
Namun bagi Elias, malam percakapan itu kembali datang. Rambut putih. Kacamata yang melorot. Kalimat yang dulu terdengar seperti teguran kini berubah menjadi testamen hidup: membaca adalah bentuk kesetiaan pada kehidupan itu sendiri.
Semua ini Terjadi :
kenangan Elias berpusat di Pastoran Kristus Raja Siriwini, Nabire rumah kecil berlantai semen dengan aroma kertas tua. Di ruang tamu, ada rak buku setinggi dada berisi tulisan para teolog, dokumen Vatikan, majalah Mimbar Keadilan, dan catatan refleksi harian Pastor Nato.
Setiap lembar catatan ditulis rapi dengan tinta biru. Ada judul seperti “Tentang Membaca Sebagai Doa”, “Gereja dan Kebudayaan Mee”, hingga “Manusia Sebagai Kitab Tuhan”. Dari ruangan itulah, gagasan-gagasan pastoral Keuskupan Timika sering lahir.
Di sisi lain Nabire, di Gereja Kristus Raja, umat mengenang Mubes yang ia selenggarakan: forum besar di mana ratusan umat berdiskusi tentang pelayanan sosial, keadilan, dan tantangan moral. “Beliau bukan hanya imam, tapi penuntun jalan berpikir,” kata seorang suster senior yang hadir malam itu.
Bagi Elias, Nabire kini tidak lagi sama. Setiap kali ia melewati pastoran, ia masih bisa membayangkan suara sang pastor yang dalam dan tenang. Nabire menjadi ruang ingatan tempat di mana sebuah percakapan kecil mengubah arah hidup.
Kisah ini Penting :
Kesaksian Elias bukan sekadar kenangan pribadi. Ini adalah pintu masuk menuju filsafat hidup seorang imam Papua.
Pastor Nato Gobay percaya bahwa iman dan pengetahuan adalah dua sayap yang harus terbang bersama. “Kalau kita hanya berdoa tanpa belajar, kita mudah ditipu. Tapi kalau kita hanya belajar tanpa berdoa, kita akan kehilangan arah.”
Filosofinya Sederhana Namun Radikal:
- Membaca adalah ibadah;
- Menulis adalah kesaksian;
- Mengajar adalah bentuk kasih.
Ia menganggap literasi sebagai jalan menuju pembebasan spiritual dan sosial. Dalam setiap misa di Bilogai dan Nabire, ia menyisipkan refleksi kecil tentang tanggung jawab intelektual umat. “Jangan tunggu orang Jakarta datang ajar kamu. Buka buku dan cari tahu sendiri apa artinya menjadi manusia Papua yang beriman.”
Di tengah arus dunia yang cepat dan gelisah, pesan itu terdengar seperti alarm yang lembut. Ia mengingatkan umat bahwa iman yang tidak berpikir akan mudah dibungkam oleh kekuasaan. Karena itu, Pastor Nato menjadikan setiap bacaan Injil, puisi, sejarah, laporan sosial sebagai alat untuk menyalakan kesadaran.
Kisah ini penting karena menegaskan bahwa Gereja bukan hanya altar dan liturgi, melainkan ruang belajar. Bahwa imam bukan hanya pengkhotbah, melainkan penulis sejarah umatnya. Dan bahwa kematian seorang imam bukan akhir, melainkan babak lanjut bagi pikiran yang ia tanamkan di hati umat.
Kisah ini Terus Hidup :
Setelah kepergiannya, Keuskupan Timika kehilangan sosok yang dianggap penjaga nurani. Namun semangat Pastor Nato tetap bergaung. Umat di Nabire mendirikan pojok baca kecil di aula Gereja Kristus Raja dan menamainya “Ruang Pastor Nato Gobay”. Di sana, anak-anak membaca Alkitab, kisah rakyat Papua, dan buku-buku pendidikan.
Elias sendiri kini menulis setiap minggu renungan singkat yang ia kirim ke media paroki. Ia menulis bukan karena ingin terkenal, tapi karena ingin menepati pesan malam itu. “Bapa bilang: membaca dan menulis itu bagian dari hidup. Saya tidak mau melupakan itu.”
Dalam banyak pertemuan imam muda, nama Pastor Nato sering disebut sebagai contoh imam yang berpikir reflektif dan tetap dekat dengan rakyat. Ia tidak meninggalkan warisan uang atau gedung megah, tetapi meninggalkan cara berpikir.
Beberapa tulisannya kini disusun oleh rekan imam untuk dijadikan buku kecil berjudul “Iman yang Membaca”. Setiap halaman terasa seperti percakapan pribadi tajam, jujur, dan penuh kasih.
Refleksi Filosofis
Kesaksian Elias memperlihatkan tiga lapisan filosofi hidup Pastor Nato Gobay:
Pertama, Filsafat Pengetahuan
Ia percaya bahwa manusia diciptakan untuk terus memahami. Membaca adalah bentuk doa yang rasional. Dalam membaca, manusia menelusuri jejak Tuhan di setiap hal kecil: dari bahasa, sejarah, hingga luka sosial.
Kedua, Filsafat Kehidupan
Ia menolak pemisahan antara sakral dan profan. Baginya, bekerja di kantor keuskupan atau menyiangi kebun di Bilogai adalah tindakan spiritual jika dilakukan dengan cinta.
Ketiga, Filsafat Kematian
Ia melihat kematian bukan akhir pelayanan, tapi momen transendensi saat pengetahuan berubah menjadi cahaya bagi generasi berikutnya. Kata terakhirnya sebelum berangkat ke Jayapura, “Gereja tidak boleh punya utang pada umatnya,” menggambarkan integritas yang jarang ditemui: bahwa tanggung jawab adalah bentuk tertinggi dari kasih.
Cahaya dari Rambut Putih
Bagi Elias, kisah malam di pastoran itu kini seperti doa yang tidak pernah selesai.
Rambut putih, kumis putih, kacamata melorot, dan suara lembut namun tegas yang berkata “Membaca mengajarkan kita memahami hidup.”
Ketika ia menulis kesaksiannya bertahun-tahun kemudian, Elias menyadari bahwa malam itu bukan pertemuan biasa. Itu adalah panggilan batin untuk hidup dengan mata terbuka membaca dunia, menulis kebaikan, dan beriman dengan sadar.
Kini, setiap kali ia melihat buku terbuka, ia teringat wajah tua sang pastor. Di setiap lembar, ia mendengar kembali pesan abadi: bahwa Tuhan hadir bukan hanya di altar, tapi juga di setiap huruf yang kita baca dengan hati terbuka.
Pastor Nato Gobay mungkin telah tiada, namun kisah dan filosofi hidupnya tetap berdenyut di tanah Papua di antara halaman buku, di ruang kelas, di gereja-gereja kecil pegunungan, dan di hati orang-orang yang masih percaya bahwa membaca adalah cara paling jujur untuk mencintai kehidupan.
Sumber dan Rujukan :
1. Kesaksian langsung Elias Gobay, Nabire 2014–2015.
2. Arsip Keuskupan Timika: Dokumen pentahbisan dan laporan MUBES Kristus Raja Nabire (2015).
3. Catatan pastoral Keuskupan Timika 1988–2023.
4. Wawancara umat Bilogai dan Biak (rekaman arsip paroki).
5. Pernyataan duka resmi Keuskupan Timika atas wafatnya Vikjen Pastor Nato Gobay, Pr.
6. Refleksi pribadi rekan imam: “Iman yang Membaca.”