Oleh Marius Goo S.S., M.Fil
Gereja butuh manusia, dan manusia butuh Gereja. Pasca Konsili Vatikan II (1962–1965) yang dikenal sebagai Konsili Ekumenis, Gereja terus berbenah mengikuti arus perubahan zaman. Gereja membuka diri terhadap dunia, termasuk berdialog dengan agama lain.
Dalam perhelatan Papua Youth Day (PYD) di Nabire, istilah “Membangun Gereja Berwajah Papua” muncul dalam pemaparan materi Antropologi Papua oleh Marius Goo. PYD menjadi momentum penting bagi Orang Muda Katolik Papua untuk menemukan kembali identitas dan jati dirinya.
Gereja adalah manusia, dan manusia adalah Gereja. Sebagaimana ditegaskan oleh Santo Paulus, manusia adalah mempelai Kristus, sementara Kristus adalah Kepala Gereja dan tubuh mistik-Nya (bdk. Ef 5:23; Kol 1:18). Gereja ada karena manusia, dan sebaliknya, Gereja ada demi keselamatan manusia.
Secara universal, Gereja Katolik memiliki kesatuan yang tak terpecahkan—salah satu dari empat ciri khas Gereja Katolik. Kini, di bawah kepemimpinan Paus Leo XIV, Gereja terus berziarah melintasi perkembangan dan tantangan zaman.
Gereja berdiri kokoh di atas dasar dogma, ajaran resmi, hukum Gereja, serta refleksi pastoral yang berakar pada konteks lokal. Dalam konteks Papua, Gereja dipahami dalam relasi erat dengan budaya dan masyarakat adat Papua.
Meski terikat dalam kesatuan dengan Gereja universal, Gereja di Papua perlu menegaskan identitasnya sebagai Gereja Pribumi Papua. Artinya, Gereja Papua harus hadir dan menyelamatkan manusia serta budaya Papua itu sendiri.
Gereja di Papua harus berwajah Papua. Orang Asli Papua (OAP) harus diberi ruang seluas-luasnya dalam kehidupan dan kepemimpinan Gereja partikular. Gereja harus memberikan rasa aman, nyaman, dan perlindungan kepada umatnya, khususnya OAP.
Gereja Katolik Papua terdiri dari lima keuskupan: Keuskupan Agung Merauke yang dipimpin Uskup Petrus Kanisius Mandagi MSC, Keuskupan Jayapura dengan Uskup Yanuarius Maatopai You Pr, Keuskupan Agats dengan Uskup Alowisius Murwito OFM, Keuskupan Manokwari-Sorong dengan Uskup Hilarion Datus Lega Pr, dan Keuskupan Timika dengan Uskup Bernardus Bofit Wis Baru OSA.
Setiap keuskupan terbagi dalam paroki-paroki hingga komunitas basis gerejani (KBG). Keberadaan paroki hingga KBG harus mencerminkan wajah Gereja Papua, mulai dari ornamen gereja, lagu-lagu liturgi, hingga gaya kepemimpinan yang menghargai kekhasan budaya lokal.
Dominasi dan hegemoni yang meminggirkan OAP harus dihindari. Gereja yang tidak memberi ruang bagi OAP tidak layak disebut Gereja Papua. Kehadiran Gereja di Papua membutuhkan keterbukaan, sapaan, dan pengakuan akan jati diri orang Papua.
Gereja hadir bukan untuk membawa Allah ke Papua, sebab Allah sudah lama ada di sini. Para misionaris datang bukan membawa Allah, melainkan diperkenalkan oleh Allah sendiri kepada tanah ini.
Allah sudah ada sebelum dunia dijadikan—sebelum Gereja dan negara hadir di Papua. Maka dari itu, menampilkan wajah Gereja Papua adalah menampilkan Allah Papua: Allah yang sejak awal hadir di tanah ini.
Maka harus dibangun Gereja yang 100% Katolik dan 100% Papua. Iman Papua mesti terikat erat dengan keyakinan pada Allah Papua yang Mahakuasa, yang sanggup melakukan tanda dan mujizat bagi tanah dan manusia Papua.
Melalui PYD, generasi muda Papua dibangkitkan kembali semangatnya untuk tetap tegar dan setia membangun Gereja yang sedang rusak dan tergerus oleh sekularisasi, komersialisasi, bahkan diperalat sebagai lahan bisnis.
PYD menjadi panggilan untuk membangun kembali Gereja dan iman Papua agar tak terombang-ambing oleh badai zaman. Gereja hadir di Papua untuk mengembalikan manusia Papua kepada Allah Pencipta.
Gereja memperkenalkan kembali Allah Papua yang hampir terlupakan dalam arus pemikiran duniawi dan sekularisme. Allah Papua bukan sekadar konsep teologis, tetapi adalah realitas ilahi yang membimbing manusia Papua yang subur dan kaya, baik secara rohani maupun materi.
Tugas setiap manusia Papua, terlebih generasi mudanya, adalah percaya penuh kepada Allah dan menyatakan iman melalui doa, kerja, dan perjuangan—bukan menjual atau menggadaikan tanah kepada investor asing maupun nasional.
Allah menciptakan tanah Papua yang kaya-raya sebagai cermin dari kekayaan dan kemurahan-Nya. Maka manusia Papua pun diciptakan subur dan indah seperti Penciptanya. Bersama Allah Papua yang gagah perkasa, kaya, dan subur, setiap anak Papua dipanggil untuk berdiri teguh dan konsisten membangun Gereja berwajah Papua—sebagai jalan menuju Gereja abadi di surga.
Penulis adalah Dosen STK “Touye Paapa” Deiyai, Keuskupan Timika, Papua