NABIRE, JELATANEWSPAPUA.COM – Solidaritas Rakyat Papua Anti Militerisme menyatakan sikap tegas menolak praktik militerisme yang kian masif terjadi di berbagai wilayah Papua sepanjang tahun 2025. Mereka menilai kehadiran aparat militer negara justru memperparah situasi keamanan dan merugikan masyarakat sipil. Dalam keterangan tertulis yang diterima Jelatanewspapua.com, Minggu (23/06), mereka mencatat sejumlah operasi militer di Intan Jaya, Puncak, dan Dogiyai yang menimbulkan korban jiwa, luka-luka, serta pengungsian besar-besaran. Tindakan kekerasan dan penembakan dinilai sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
Pos TNI disebut telah didirikan di gedung Gereja Kemah Injil Indonesia di Timobut sejak Januari 2025. Pada tanggal 05–08 Februari, sekitar 300 personel TNI dikerahkan ke hutan Mboobila Karu, Kabupaten Puncak.
Tanggal 07 Februari, pasukan mulai masuk ke kampung-kampung warga di Distrik Sinak Barat dan Pogoma. Operasi udara dilakukan 7 Mei, melepaskan tembakan bom mortir dan roket dari helikopter ke wilayah sipil.
Akibat serangan itu, ratusan warga mengungsi ke Distrik Sinak. Pada 13 Mei 2025 dini hari, serangan TNI di Kampung Ndugusiga, Jaindapa, dan Sugapa Lama, Intan Jaya, menewaskan empat warga sipil dan melukai empat lainnya.
Konflik bersenjata antara TNI dan TPNPB-OPM meletus setelah kejadian itu. Pada 17 Mei, TNI membangun dua pos baru di Sugapa Lama dan Bilapa.
Warga dari Hitadipa, Janamba, Sugapa Lama, Ndugusiga, Titigi, dan Ekenemba mengungsi ke Sugapa, Nabire, dan Timika. Pada 18 Juni, dua warga sipil kembali tewas dalam operasi militer di Kampung Gamagae dan Bulapa.
Di hari berbeda, Jumat 23 Mei 2025, lima warga sipil ditembak aparat TNI/Polri di Dogiyai. Pada hari yang sama, di Kampung Toenggi, Distrik Gome, Kabupaten Puncak, seorang warga bernama Agus Murib ditembak hingga tewas.
Operasi penyisiran dan pengeboman kembali terjadi di Distrik Gome pada 25 Mei dan memicu pengungsian. Solidaritas Rakyat Papua Anti Militerisme menilai semua kejadian ini menunjukkan tumbuh suburnya praktik militerisme.
Mereka menyebut tindakan ini tidak terlepas dari sejarah panjang konflik bersenjata sejak Papua dianeksasi pada 1961. Selain itu, mereka menilai militerisme dilatari oleh kepentingan pengamanan eksploitasi sumber daya alam, proyek strategis nasional, dan praktik KKN.
Berikut adalah pernyataan sikap yang disampaikan oleh Solidaritas Rakyat Papua Anti Militerisme:
1. Menolak dengan tegas segala bentuk intervensi negara lewat militer terhadap setiap ruang hidup rakyat sipil Papua.
2. Menolak UU TNI yang justru merusak citra demokrasi dan penegakan hukum.
3. Mengutuk keras tindakan penembakan membabi buta hingga pembunuhan tidak bertanggung jawab terhadap rakyat sipil yang dilakukan oleh aparat militer TNI di Tanah Papua.
4. Hentikan operasi militer dan tarik militer organik dan non-organik di seluruh Tanah Papua.
5. Menolak segala bentuk kebijakan pemerintah di Tanah Papua bekerja sama dengan TNI/Polri yang merugikan hak-hak hidup rakyat Papua.
6. Pemerintah segera tarik pos militer di Kabupaten Intan Jaya Distrik Hitadipa di Jaindapa, Titigi dan Kabupaten Puncak Jaya Distrik Gome Utara Kampung Tuengi.
7. Pemerintah Papua Tengah segera mengambil tindakan cepat terhadap peristiwa pengungsian di Kabupaten Puncak Distrik Sinak, Gome, dan Kabupaten Intan Jaya Distrik Hitadipa dan Sugapa.
8. Pemerintah segera bertanggung jawab atas terbunuhnya warga sipil di daerah konflik Intan Jaya dan Puncak.
9. Meminta penegak hukum, dan Komnas HAM menindaklanjuti peristiwa pembunuhan terhadap 5 warga sipil di Intan Jaya, dan satu warga sipil di Puncak.
10. Menolak dengan tegas pembangunan Jalan Trans Papua.
11. Pemerintah Papua Tengah segera pulangkan masyarakat Intan Jaya dan Puncak yang mengungsi ke Timika, Nabire, dan kota terdekat.
12. Pemerintah dan legislatif segera bentuk tim investigasi.
Pernyataan tersebut ditandatangani langsung oleh Debame Maiseni selaku Koordinator Lapangan. Mereka menutup pernyataan dengan salam solidaritas dan harapan akan Papua yang damai tanpa militerisme.