Oleh: Marius Goo
Pengantar
Trend adalah gaya, mode, atau kecenderungan yang populer pada waktu tertentu, mencakup fashion, topik pembicaraan, perilaku, atau pergerakan data. Beberapa jenis trend yang berkembang saat ini antara lain:
Fashion & Gaya Hidup: Gaya pakaian, rambut, atau pola hias yang naik daun.
Media Sosial: Topik atau tagar yang viral dan banyak dibicarakan.
Keuangan & Investasi: Pergerakan harga aset seperti saham.
Pencarian (Google Trends): Topik atau kata kunci yang sering dicari, menunjukkan minat publik.
Tulisan ini membahas jenis trend pertama, kedua, dan keempat, dengan fokus pada bagaimana sebagian orang muda Papua tampak tercabut dari akar budaya dan terjerumus dalam pragmatisme yang dapat dilihat dari perspektif konsep “Banalitas Kejahatan” milik filsuf Hannah Arendt.
A. Realitas Hidup Orang Muda Papua Kini
Banyak orang muda Papua kini cenderung mengikuti trend zaman terkait fashion, gaya hidup, gaya pakaian, rambut, dan pola hias. Mereka juga terpengaruh oleh media sosial, mengikuti topik yang viral, dan sering bergantung pada hasil pencarian yang menunjukkan minat publik.
Sebagian besar anak muda Papua menjadi konsumen aktif media sosial, mengakses berbagai aplikasi dan membangun jaringan hingga ke luar negeri, yang membuat mereka terpengaruh gaya hidup barat. Banyak yang merasa kurang lengkap ketika menyaksikan kebiasaan luar negeri yang dianggap lebih mapan dan maju.
Akibatnya, sebagian orang muda Papua merasa minder dan berlomba mengikuti tren luar, terwujud dalam cara berpakaian, penataan rambut (seperti sambungan, anyaman, atau pewarnaan), hingga pilihan makanan dan minuman. Makanan dan minuman asli sering dianggap ketinggalan zaman dan tidak menarik.
Hal ini membuat sebagian orang muda Papua kehilangan semangat untuk bekerja keras dan berjuang. Mereka tertarik oleh hiburan dan harapan yang ditampilkan melalui media sosial, iklan, dan promosi yang memberikan sensasi namun tidak membawa kedamaian sesungguhnya. Banyak yang menganggap cukup hanya memiliki gadget dan mengira segala kebutuhan akan terpenuhi dengan sendirinya, yang dianggap sebagai hal yang normal.
B. Pandangan Hannah Arendt Tentang “Banalitas Kejahatan”
Hannah Arendt adalah filsuf politik Jerman yang lahir pada 14 Oktober 1906 dan meninggal pada 4 Desember 1975 di New York, Amerika Serikat. Konsep “banalitas kejahatan” (banality of evil) yang dia kemukakan menyatakan bahwa kejahatan ekstrem seperti Holocaust tidak selalu dilakukan oleh orang yang secara intrinsik jahat, melainkan oleh orang biasa yang enggan berpikir kritis, patuh pada sistem, dan kehilangan empati. Mereka tidak menyadari dampak mengerikan dari tindakan mereka, menganggapnya sebagai tugas yang biasa atau normal.
Konsep ini muncul dari pengamatannya terhadap Adolf Eichmann, birokrat Nazi yang tampak seperti orang biasa namun terlibat dalam genosida. Arendt menekankan bahwa “ketidakberpikiran” adalah akar masalahnya, di mana individu kehilangan kemampuan untuk menilai benar dan salah secara mandiri, sehingga menjadi bagian dari sistem yang berbahaya tanpa motif jahat yang jelas.
C. Mencari Jalan Balik: Langkah Menuju Pembebasan
Jika dilihat dari konteks kehidupan orang muda Papua saat ini, konsep banalitas kejahatan dapat diartikan sebagai “mesin pembunuh yang efisien” dalam bentuk yang tidak langsung. Orang muda Papua berisiko menuju kepunahan budaya dan semangat perjuangan bukan melalui kekerasan yang terlihat, melainkan melalui gaya hidup yang tidak sadar, hanya terpaku pada trend zaman yang menghabiskan waktu, uang, dan merusak masa depan.
Seperti Eichmann yang kehilangan kemampuan berpikir kritis, sebagian orang muda Papua tampaknya tidak memanfaatkan potensi pikiran manusia yang kuat untuk merombak dunia. Mereka ingin terlihat modern dan maju, namun sikap dan gaya hidup yang dianut justru menunjukkan kurangnya pemahaman tentang nilai-nilai yang benar.
Gaya hidup yang mementingkan trend dan kemewahan telah menjajah kesadaran individu, membuat mereka terjebak dalam sistem yang membuat mereka terus bergantung pada gadget dan platform media sosial, bahkan hingga menggunakan akun untuk mencari penghasilan tanpa memperhatikan dampak jangka panjang.
Untuk mengubah kondisi ini, diperlukan langkah-langkah konkret:
1. Menumbuhkan cinta pada hal-hal asli dan alami Papua, seperti menghargai penampilan alami tanpa perlu sambungan rambut atau pewarnaan.
2. Tidak secara buta mengadopsi dan menerapkan gaya hidup barat di tanah Papua.
3. Tidak tergoda oleh trend yang menghilangkan semangat untuk bekerja keras, berpikir kritis, dan tidak pernah menyerah.
Penutup
Pandangan Hannah Arendt mengingatkan orang muda Papua untuk merenungkan nasib bangsa dan diri sendiri. Saat ini, orang Papua berisiko mengalami kepunahan budaya dan identitas secara halus melalui tindakan dan pola hidup yang lebih mempercayai dan tertarik pada trend zaman. Pertanyaan refleksi yang perlu dijawab adalah: Dapatkah orang Papua menjadi tuan di tanah sendiri tanpa harus tergantung pada media sosial atau pandangan luar? Dapatkah orang Papua menyelamatkan diri dengan hidup lebih kritis, bekerja lebih keras, dan saling jujur? Marilah kita kembali pada akar budaya, keluarga, dan diri kita sendiri.