JAYAPURA, JELATANEWSPAPUA.COM — Komite Pimpinan Pusat Forum Independen Mahasiswa West Papua (KPP FIM-WP) mengeluarkan pernyataan sikap keras menentang militerisasi dan eksploitasi sumber daya alam di Tanah Papua yang disebut sebagai bentuk kolonialisme baru oleh negara dan korporasi.
Dalam pernyataan yang bertajuk “Salam Pembebasan Nasional Bangsa Papua Barat”, FIM-WP menilai bahwa sejak integrasi Papua ke Indonesia pada 1 Mei 1963, rakyat Papua terus mengalami penderitaan multidimensi: penjajahan ekonomi-politik, pembangunan timpang, dan kekerasan militer yang berkepanjangan.
“Kekerasan dijadikan alat pembangunan, dan pembangunan dijadikan topeng penjajahan ekonomi-politik,” tulis FIM-WP dalam pernyataannya, kepada awak media, Senin (10/11).
Organisasi mahasiswa itu menilai bahwa seluruh operasi militer, sejak Trikora hingga kini, bukanlah demi kedaulatan rakyat, melainkan untuk menjamin keamanan investasi global di bawah kendali kapitalisme dan imperialisme internasional.
Mereka menuding proyek-proyek besar seperti Jalan Trans Papua dan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke dan Sorong sebagai alat negara untuk membuka jalan bagi perusahaan tambang, perkebunan, dan migas, bukan untuk kesejahteraan rakyat Papua.
“Pembangunan pos-pos militer, pangkalan baru, dan markas TNI/Polri di seluruh Tanah Papua menunjukkan satu hal: militer adalah pagar besi bagi eksploitasi sumber daya alam Papua,” tegas FIM-WP.
FIM-WP juga menyinggung kontrak karya PT Freeport Indonesia tahun 1967 yang dianggap menjadi simbol persekongkolan kapitalis-militeris antara Jakarta dan Washington, bahkan sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 digelar.
Baca Juga : FIM-WP: Tutup Freeport dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri
Menurut mereka, rezim-rezim Indonesia sejak Soeharto hingga pemerintahan saat ini terus melanjutkan pola militeristik yang menindas rakyat Papua demi menjaga stabilitas investasi. “Hukum dijadikan alat kekuasaan, bukan keadilan,” tulis FIM-WP.
Organisasi tersebut menilai bahwa kebijakan pemekaran lima provinsi dan puluhan kabupaten/kota di Papua hanyalah strategi memperluas kendali kolonial, membuka ruang bagi transmigrasi, markas militer, dan eksploitasi lahan adat masyarakat Papua.
Tuntutan FIM-WP
Dalam pernyataan sikapnya, FIM-WP menyampaikan sepuluh poin tuntutan utama kepada pemerintah Indonesia dan komunitas internasional, antara lain:
1. Hentikan kekerasan dan operasi militer terhadap masyarakat sipil di wilayah konflik seperti Intan Jaya, Maybrat, Pegunungan Bintang, Yahukimo, dan daerah lain di Tanah Papua.
2. Hentikan seluruh Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke dan Sorong yang mengancam kehidupan masyarakat adat Marind dan Moi.
3. Tutup semua perusahaan ilegal yang beroperasi di Tanah Papua.
4. Usut tuntas seluruh kasus pelanggaran HAM berat di Papua.
5. Tutup PT Freeport Indonesia dan kembalikan hak kedaulatan rakyat Amungsa atas tanahnya.
6. Tarik seluruh pasukan non-organik dari Tanah Papua.
7. Pulangkan seluruh pengungsi sipil dari wilayah konflik.
8. Kembalikan militer ke barak, hentikan peran mereka dalam proyek ekonomi.
9. Prioritaskan pendekatan humanis dan dialog damai untuk penyelesaian konflik.
10. Berikan hak Penentuan Nasib Sendiri (Right to Self-Determination) sebagai solusi demokratis bagi rakyat bangsa West Papua.
FIM-WP menegaskan bahwa perjuangan rakyat Papua tidak akan berhenti selama penindasan masih berlangsung.
“Tanah Papua bukan tanah kosong. Papua adalah tanah air rakyat bangsa Papua yang berdaulat, yang terus melawan penjajahan, eksploitasi, dan militerisasi.” tutupnya. (*)