Karya: Gusanncladote
Teriakan dari lereng gunung yang berdiri megah menggema, memecah keheningan pagi yang biasanya hanya diisi desau angin dan kicau burung. Seruan Tua Yones meluncur berulang kali, seperti aliran Kali Hilame yang tak pernah lelah membelah tanah Puncak Papua. Suaranya melingkar-lingkar seperti angin yang jatuh dari pucuk cemara yang menatap ke bawah dengan gelisah.
Napasnya tersengal, namun teriakan itu tetap menyimpan tenaga. “Tentara Republik Indonesia dan Polisi Indonesia datang mau bakar rumah!” teriaknya, mengguncang batin siapa saja yang mendengar. Nadanya menggelegar seperti guruh yang menumbuk dada langit di atas Gunung Gergaji.
“Lari, lari, lari!” pekik Selpianus dan Yustus, dua anak muda penjaga kampung yang rambutnya masih bau kabut pagi. Mereka berlari ke arah rumah-rumah, mengetuk pintu-pintu honai, membangunkan siapa saja yang masih percaya pagi itu tenang. Detak jantung mereka secepat derap langkah pelarian.
Orang-orang tak sempat berpikir panjang. Ada yang menggendong bayi dalam noken, ada pula yang menarik tangan anak-anak dengan langkah terbata. Halaman rumah berubah menjadi pelataran pelarian tanpa rencana.
Jerit, tangis, dan suara kaki menghentak tanah berlumpur menyatu dalam irama yang tak pernah diinginkan. Mereka semua berlarian menuju hutan, berlindung di bawah ketiak alam yang diam-diam merangkul. Hutan pun membuka jalan di antara semak, seakan tahu waktunya menjadi pelindung.
“Tuhan, alam, izinkan kami dalam tanganmu,” gumam seorang nenek sambil memeluk cucunya yang menangis kecil. Ia berjalan perlahan menuju hutan, menyusuri jalan setapak dengan doa sebagai tongkatnya. Dalam dadanya, berkecamuk harap akan keselamatan dari kebengisan yang datang.
Dari kejauhan, si jago merah mulai berdansa. Lidah apinya menjilat atap rumah-rumah honai yang dibangun dengan cinta dan peluh para leluhur. Api menari bersama tangan-tangan dingin pemegang korek dan senjata.
Rumah-rumah adat itu menyerah satu per satu. Dinding papan cincang dan atap alang-alang terbakar dengan rintih yang tak terdengar oleh langit. Api mengaum seperti binatang buas yang kelaparan bertahun-tahun.
Asap mengepul tebal, menggulung langit Ilaga yang biasanya bersih dan biru. Ia bergandengan dengan awan mendung, membentuk payung kelabu di atas luka. Mereka menari bersama, menebarkan debu-duka ke seluruh langit Puncak.
“Mereka tertawa,” bisik seseorang di balik semak. “Mereka tertawa terbahak-bahak karena berhasil membakar rumah kita.” Tawa itu menggema di kepala, lebih menyakitkan dari api yang membakar kulit.
Pohon-pohon cemara berdiri kaku, menyaksikan semuanya dengan duka tak bersuara. Dedaunan mereka gemetar, tertiup angin panas yang membawa bau gosong kehidupan. Di batang-batang mereka, terlihat bayang orang-orang yang menyelinap, tak ingin terlihat oleh pelaku.
Tanah Puncak yang dingin tampak pasrah. Ia menerima jejak kaki, air mata, dan bara yang menempel di kulitnya yang lembut. Gunung Kelabo di kejauhan memandangi semuanya dengan diam yang dalam.
Gunung Gergaji pun membisu. Puncaknya yang runcing seperti ingin menjerit, namun langit terlalu berat untuk dihancurkan oleh suara. Ia hanya menunduk, seolah malu tak bisa berbuat apa-apa.
Seorang ibu terduduk di lereng, memeluk anaknya yang lelah. Matanya tak bisa berpaling dari kobaran yang menelan rumahnya. Tangisnya tidak bersuara, hanya air mata yang turun satu-satu, membasahi pipi anaknya yang terlelap.
Di tangannya, tergenggam kunci rumah yang telah jadi abu. Ia mengecup kunci itu, seolah bisa membuka kembali pintu yang telah dilalap bara. Tapi yang tersisa hanya angin dingin dan tanah hangus.
Tua Yones berdiri di sampingnya, tubuhnya kaku seperti akar kayu tua yang menolak tumbang. Matanya keruh menatap ke arah kampung, ke arah sejarah hidup yang kini jadi abu. Di bibirnya, doa menggantung tapi tak sempat dilafalkan.
Di kampung ini ia lahir, tumbuh, dan menua dengan tenang. Setiap tiang rumah ia pahat sendiri dengan penuh kasih. Kini, hanya asap yang tersisa dari semuanya.
Dari balik semak, anak-anak mengintip dunia yang telah berubah. Mata mereka membesar, mencoba memahami luka yang tak diajarkan di sekolah. Mereka tahu bahwa pulang tak akan pernah sama.
Tak ada pintu untuk diketuk, tak ada dinding untuk bersandar. Tak akan lagi berlarian di bawah gerimis sore sambil bernyanyi lagu kampung. Dunia mereka patah, seperti ranting yang tak sanggup menahan beban salju.
Langit ikut bersedih. Mendung tampak lebih berat, seperti kantong duka yang siap tumpah kapan saja. Tak lama, titik-titik hujan turun perlahan, membasuh tanah yang hitam oleh jelaga.
Tapi hujan tak bisa menyeka luka. Ia hanya menambah kesedihan, menjadi irama sunyi yang mengiringi duka. Ilaga terpejam dalam kelam.
Malam turun dari puncak-puncak gunung dengan tubuh dingin. Kabut ikut menyelimuti lereng, membuat setiap napas terasa beku. Dingin dari Gunung Kelabo merayap ke kulit, meruntuhkan tulang yang semula kokoh.
Warga berkumpul di balik bukit, membuat api unggun dari sisa ranting yang tidak terbakar. Mereka duduk saling menghangatkan, menyatukan tubuh dan hati. Tak banyak yang bicara, hanya tatapan yang menyeberang antar jiwa.
Tua Yones memejamkan mata, mengangkat wajah ke langit yang gelap. “Tanah ini sudah terlalu sering menangis,” bisiknya seperti angin dari lembah. Di dadanya, luka itu membatu.
Api telah pergi, tapi bara tetap menyala dalam ingatan. Di tanah, di pohon, di batu, di napas anak-anak yang mengintip. Semua akan tumbuh membawa cerita, membawa kenangan yang tak bisa ditabur begitu saja.
Dan malam itu, di tengah kobaran yang telah mati, Ilaga mengubur sebagian dari dirinya. Ia memeluk rakyatnya dengan tenang, meski tubuhnya penuh luka. Dalam diamnya, ia berjanji: ingatan ini tidak akan padam.