Oleh: Elias Awekidabi Gobai
Adven adalah masa penantian kelahiran Yesus Kristus, Putra Allah. Dalam iman Katolik, Adven bukan masa Natal—melainkan masa penyesalan, pengakuan dosa, pertobatan, dan kesiapsiagaan iman. Natal baru dirayakan setelah penantian itu dijalani secara sadar dan bertanggung jawab.
Masalahnya, dalam praktik gerejawi dan sosial, Adven sering diperlakukan hanya sebagai pengantar pesta Natal. Lagu, dekorasi, dan bahasa “damai Natal” muncul terlalu dini, sementara dimensi kritis Adven—pertobatan dan kejujuran menghadapi realitas—menjadi kabur. Akibatnya, Natal berisiko berubah menjadi ritual tahunan yang indah tetapi terlepas dari penderitaan konkret umat.
Di Tanah Papua, persoalan ini menjadi sangat nyata. Umat hidup dalam bayang-bayang kekerasan, pengungsian, dan ketidakpastian hidup. Dalam konteks ini, Adven tidak bisa dipahami secara dangkal; ia menuntut keberanian iman.
Yang paling terdampak adalah Orang Asli Papua (OAP)—terutama perempuan, anak-anak, dan lansia—yang mengalami konflik bersenjata dan dampak kebijakan keamanan berkepanjangan. Berbagai laporan lembaga kemanusiaan dan pemantau HAM mencatat bahwa puluhan hingga lebih dari seratus ribu warga Papua mengalami pengungsian internal dalam beberapa tahun terakhir, terutama di wilayah Pegunungan Bintang Mybrat, Nduga, Intan Jaya, Puncak, dan lainnya.
Yang juga terlibat adalah:
Negara dengan kebijakan dan aparatnya,
Gereja sebagai institusi iman dan suara moral,
Umat beriman yang setiap Adven dan Natal mendengar Sabda Allah.
Karena itu, ini bukan sekadar isu politik atau sosial, melainkan persoalan iman bersama.
Refleksi ini selalu relevan setiap masa Adven dan Natal, tetapi urgensinya meningkat ketika penderitaan berlangsung lama tanpa penyelesaian bermartabat. Di Papua, krisis kemanusiaan bukan peristiwa sesaat, melainkan pengalaman bertahun-tahun.
Artinya, bagi banyak orang Papua, “menunggu keselamatan” bukan metafora liturgis, melainkan realitas hidup sehari-hari. Adven di sini tidak berhenti pada empat minggu kalender gereja, tetapi menjadi pengalaman sejarah.
Iman diuji:
Di kamp-kamp pengungsian,
Di desa-desa yang ditinggalkan penduduknya,
Di kota-kota yang hidup dalam ketegangan,
Dan di mimbar-mimbar gereja.
Gereja tidak berada di luar sejarah; ia berdiri di tengah umat yang terluka. Karena itu, pewartaan iman yang menghindari konteks nyata berisiko menjadi bahasa rohani yang aman bagi yang nyaman, tetapi menyakitkan bagi yang menderita.
Mengapa Adven tidak boleh direduksi menjadi formalitas liturgi?
Karena Injil sendiri tidak demikian. Injil Matius menegaskan bahwa sebelum Kristus hadir, Allah mengutus Yohanes Pembaptis, yang tampil dalam roh Nabi Elia, untuk menyerukan:
“Bertobatlah, sebab Kerajaan Surga sudah dekat.” (Mat 3:2)
Pesan ini jelas: kelahiran Kristus selalu didahului pertobatan. Kristus tidak lahir di hati yang puas dengan ketidakadilan, tetapi di hati yang mau diubah. Damai tanpa keadilan bukan damai Injil; itu hanya ketenangan palsu.
Dalam konteks Papua, Adven menuntut:
Penyesalan atas pembiaran penderitaan,
Pengakuan dosa personal dan struktural,
Pertobatan sosial yang berani berpihak pada kehidupan.
1. Empat Minggu Adven sebagai Jalan Iman
Minggu Adven I – Berjaga dan Berharap: Umat diajak waspada dan tidak lalai. Menunggu Kristus berarti membuka mata terhadap realitas, bukan menutupinya dengan bahasa rohani.
Minggu Adven II – Pertobatan dan Pelurusan Jalan: Yohanes Pembaptis menyerukan pertobatan. Ini adalah ajakan membenahi hati dan struktur hidup yang melukai sesama.
Minggu Adven III (Gaudete) – Sukacita dalam Harapan: Sukacita yang lahir bukan dari pesta, tetapi dari keyakinan bahwa Allah tidak meninggalkan umat-Nya.
Minggu Adven IV – Ketaatan dan Kesiapan: Maria dan Yusuf menunjukkan bahwa Allah hadir melalui ketaatan yang berani, bukan melalui kenyamanan.
Selama keempat Minggu ini, belum ada Natal. Yang ada adalah penantian yang bertumbuh.
2. Natal sebagai Kehadiran Allah dalam Kehidupan Kita
Natal bukan pelarian dari kenyataan pahit. Yesus lahir dalam situasi terancam, hidup sebagai pengungsi, dan hadir di bawah kekuasaan yang represif. Pesannya tegas: Allah memilih hadir di tengah penderitaan manusia.
Karena itu, Natal menjadi nyata ketika:
Hati berubah,
Iman melahirkan keberpihakan,
Gereja berani berdiri bersama umat yang terluka.
Menantikan kelahiran Yesus Kristus berarti membuka ruang agar Kristus lahir dalam kehidupan kita hari ini dalam sikap, keputusan, dan tindakan nyata.
Adven Sebagai Ukuran Kedewasaan Iman
Selama masa Adven, tidak ada Natal.
Yang ada adalah penantian.
Dan penantian itu menuntut keberanian moral.
Di Tanah Papua, Adven menguji iman: apakah gereja hanya mengulang bahasa damai, atau sungguh menghadirkan Kristus yang datang membawa kebenaran dan kehidupan. Natal baru bermakna jika Yesus Kristus lahir bukan hanya di palungan liturgi, tetapi di dalam kehidupan nyata umat.
Di situlah iman berhenti menjadi wacana, dan mulai menjadi jalan hidup.
Referensi (Sumber)
Alkitab Katolik, Injil Matius 1-3; Lukas 1-2
Katekismus Gereja Katolik, art. 522-524 (Makna Adven dan penantian Mesias)
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Dokumen Pastoral Adven-Natal
Human Rights Monitor-Laporan Pengungsi Internal Papua (2023-2025)
Amnesty International & Komnas HAM RI-Laporan situasi HAM di Papua
ACAPS & OCHA-Analisis krisis kemanusiaan Papua
Dewan Gereja Papua / PGGP-Pernyataan pastoral dan data pengungsi