Oleh: Marius Goo S.S., M.Fil
Pengantar
Kesuburan dan kekayaan tanah Papua di mata dunia mendapat sorotan dunia, bahkan diincar dunia untuk digersangkan dan dikuras. Orang Papua yang juga pemilik terninabobo dalam manjaan kekayaan alam. Pikiran kritis dan kerja keras dilemahkan dengan cinta alam yang menyediakan segalanya, juga cinta kasih manusia yang tidak memberikan daya untuk terus berjuang. Kenyatannya, saat ini manusia Papua hidup “tidak baik-baik saja”. Pintu-pintu maut dibuka secara langsung dan tidak langsung oleh orang Papua sendiri, juga orang luar yang datang bukan demi manusia, melainkan demi mencari uang dan kekayaan alam Papua. Dalam seluruh dinamika ini, orang Papua tertidur lelap dalam euphoria, penghiburan palsu dan situasi palsu yang diciptakan, agar pintu-pintu maut mekin banyak dan terbuka lebar supaya orang Papua punah. Di samping itu, orang Papua rasa bangga dan tidak peduli dengan pintu-pintu maut yang tercipta dan diciptakan dan kepalsuan.
Pintu-pintu Maut
Keberadaan orang Papua di atas dasar hukum adat dan agama. Dua hukum ini memagari orang Papua untuk tetap hidup dan terus berkembang memenuhi bumi. Namun kenyataan kini menjadi lain dan sangat aneh, semacam penderitaan dan kematian menjadi santapan harian untuk mengosongkan bumi Papua.
Pintu-pintu maut yang tercipta hingga saat ini, di ataranya:
Pertama, Kurangnya kesadaran manusia Papua. Manusia Papua belum sadar secara penuh bahwa sedang ada dalam keadaan “tidak baik-baik saja”. Saat ini sebagian orang Papua sedang ada di dalam “lembah kebingungan”, bahkan sudah sampai pada tingkat pasrah dan menyerah dengan perjuangan dan kehidupan. Orang-orang Papua yang tidak sadar dengan nilai dan makna hidup, mereka menggadaikan hidup dan menyerah pada kenyataan hidup. Mereka tidak memiliki upaya perlawanan dan menyerah begitu saja tanpa rasa bersalah pada diri, keluarga, Gereja dan bangsanya.
Kedua, Ketidaksadaran diri yang mendatangkan sikap-sikap amoral. Orang-orang Papua yang tidak sadar dengan identitas atau eksistensi diri sebagai manusia, mereka mengambil jalan pintas: membangun sikap dan kebiasaan amoral yang melanggar norma kesusilaan dan kewajaran sebagai manusia. Ketidaksadaran akan kemanusiaan Papua ini mendorong individu bersangkutan sampai pada tingkat kehancuran dan penghancuran tatanan nilai hidup.
Ketiga, Sikap ego dan arogan dari orang Papua. Orang Papua telah kehilangan rahmat-rahmat asali karena membangun tembok-tembok dalam ego dan arogansi. Merasa dirinya yang lebih superior daripada segala ciptaan yang lain. Di sini, orang Papua merampas hak absolut Pencipta. Sikap ini menjadi tameng untuk tidak mau rendah hati dan peduli pada ciptaan yang lain. Egoisme dan arogansi telah mengantar orang Papua menjadi pribadi-pribadi otonom tak dapat diperbaiki, oleh sesama ciptaan yang lain: manusia juga lingkungan alam.
Keempat, Orang Papua telah tercabut dari akar-akar kehidupan budaya. Orang Papua sudah tidak peduli dan sekaligus tidak menghargai kebudayaan lagi. Dianggap kuno dan ketinggalan. Kehilangan kebudayaan ini melahirkan manusia yang tidak beradab dan beradat. Sebenarnya, melalui nilai-nilai budaya luhur Papua telah memagari kehidupan, namun pagar ini dibuka dan terbuka pula pintu maut. Orang Papua memandang budaya dari kulit dan tidak sampai pada ‘roh’ dari kebudayaan itu sendiri, karena itu, budaya dianggap tidak penting.
Kelima, Orang Papua telah kehilangan religiositas. Orang Papua kini telah dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan zaman, yang tentu didominasi oleh sekularisme dan hedonisme semata. Kepekaan akan kehidupan akhirat, kehadiran akan yang adikodrati terjadi kekosongan dan kealpaan. Merasa tuan tapi dalam kelemahan yang menyakitkan.
Keenam, Orang Papua kehilangan persaudaraan, kekerabatan dan kekeluargaan sejati. Persaudaraan, kekerabatan dan kekeluargaan adalah kekuatan untuk memaknai hidup. Sikap memandang sesama orang Papua secara negatif, menyindir sesama orang Papua lain dengan kata-kata menjatuhkan merupakan pondasi rusaknya persatuan dan kebersamaan sebagai satu ras. Kesatuan sebagai orang Papua harus dibangun kokoh dalam kehidupan bersama. Jangan hanya karena ideologi Papua merdeka dan tetap NKRI, atau karena politik praktif memecah bela kekeluargaan dan persaudaraan orang Papua. Perpecahan dan perceraian sebagai satu keluarga, suku dan bangsa, telah mengantar banyak orang Papua tercabut satu per satu dari negeri leluhurnya. Persaudaraan dan kekerabatan orang Papua tidak sebatas manusia Papua dengan manusia Papua, tetapi juga sesama ciptaan yang lain dan terlebih Pemlncipta sendiri.
Upaya Penyelamatan Manusia Papua
Pintu-pintu maut yang terlah tercipta dan diciptakan tidak sedikit orang yang pergi selamanya keluar meninggalkan tanah airnya. Pintu-pintu maut ini tidak boleh selalu ada dan terbuka lebar begitu saja selamanya. Upaya-upaya menutup pintu-pintu maut atau penyelamatan manusia Papua ini harus dilaksanakan.
Pertama: Orang Papua harus sadar, bangkit dan melawan budaya-budaya kematian yang tercipta dan diciptakan sendiri karena ketidaksadaran, egoisme dan keangkuhan. Juga diciptakan orang lain demi merampas hak-hak milik.
Kedua, Orang Papua tinggalkan sikap-sikap amoral, yakni sikap-sikap kebinatangan yang merusak seluruh tantanan kebudayaan dan nilai-nilai religi.
Ketiga, Perlu membangun kepekaan pada nilai-nilai budaya dan religiositas. Nilai-nilai budaya dan religiositas memiliki kekuatan untuk menyelamatkan manusia. Karena itu, nilai religi dan budaya harus dihidupkan dan dihayati dalam kehidupan.
Keempat, Bangun basis-basis persaudaraan, persekutuan dan kekeluargaan yang terorganisir. Dengan basis-basis ini tinggalkan sikap arogansi dan ego karena ideologi tertentu atau politik tertentu. Persaudaraan dan kekeluargaan lebih abadi daripada politik praktis yang bersifat musiman.
Penutup
Pintu-pintu maut itu sungguh nyata dan ada di Papua. Pintu-pintu itu dibangun oleh orang Papua sendiri dalam kesadaran penuh juga ketidaksadaran; namun juga dibangun oleh orang lain untuk mengambil sumber daya alam, atau mengambilalih fungsi kepemilikan hak-hak hidup. Dalam melawan semua ini butuh kesadaran, tekad dan semangat perlawanan untuk dapat mempertahankan hidup. Perlawanan dilakukan secara terorganisir dan tertruktur dalam persaudaraan dan kekeluargaan, sambil saling menjaga, menguatkan, menghibur, mengobati dan menyelamatkan.
Penulis adalah Dosen STK “Touye Paapaa” Deiyai, Keuskupan Timika