Karya: Gusanncladote
Langit Biak pagi itu tak berani bernyanyi, seolah tahu luka akan segera datang. Awan-awan menggantung rendah, menutupi matahari yang biasanya ramah.
Musa berdiri terpaku di depan menara air tua, tempat ayahnya dulu rebah bersama Bintang Kejora. Di sisinya, Monalisa memegang secarik kain putih, warisan dari ibunya yang pernah duduk berdoa di tanah yang sama.
“Tempat ini masih ingat,” bisik Monalisa. “Bau tanahnya tidak berubah, hanya lebih sunyi.”
Musa menatap menara yang mulai keriput, tubuhnya ditumbuhi lumut kenangan. Ia mendengar suara-suara dari tahun lalu, seperti gema yang tidak mau mati.
Tower itu berdiri seperti seorang tua yang kelelahan, tapi tetap tegak menjaga cerita. Ia pernah menyaksikan Bendera Kejora dikibarkan oleh tangan-tangan kecil dan tulus.
Monalisa mendekap kain peninggalan ibunya. “Ibu bilang, malam sebelum Bintang Kejora dinaikkan, mereka tidur di tanah ini, hanya beralaskan keyakinan.”
“Dan pagi harinya, peluru datang lebih dulu daripada matahari,” jawab Musa, lirih. “Ayahku termasuk yang berdiri paling depan.”
Angin yang biasanya riang bermain di pesisir, kini hanya berputar pelan di antara mereka. Seolah mengantarkan pesan dari masa lalu yang belum selesai.
Delapan orang tidak pulang malam itu, hanya kabar yang menggantung di udara. Tiga lainnya menghilang seperti embun di pagi buta.
“Tapi tubuh mereka masih hidup di dalam kepala kita,” kata Monalisa. “Ayahku, ibumu, mereka tidak benar-benar pergi.”
Musa menggenggam tangan Monalisa, hangatnya seperti sisa pelukan dari dua pejuang yang tak sempat mengucap selamat tinggal. “Mereka ajarkan kita tentang cinta yang tidak takut luka.”
Pantai di kejauhan tampak tenang, namun dalam diamnya menyimpan tiga puluh dua tubuh yang tak pernah diberi nama. Laut menjadi pusara, tapi bukan ibu.
Monalisa memejam, membiarkan angin menyisir pipinya. “Mereka dilempar ke laut seperti tak berharga, padahal mereka adalah bintang yang belum sempat menyala.”
Seratus lima puluh lainnya ditahan dan disiksa, suara mereka hilang tapi tak pernah benar-benar lenyap. Luka-luka itu membentuk lagu sunyi yang sampai hari ini masih mengalun di tengah malam.
“Tiga puluh tiga orang luka ringan,” kata Musa. “Tapi tak ada yang ringan jika pukulan diarahkan ke martabat.”
Mereka duduk di akar pohon besar yang dulu jadi tempat ibunda Monalisa menyanyikan lagu-lagu pengharapan. Daun-daunnya kini gemetar, seolah ikut mengenang.
“Sebenarnya mereka tidak butuh banyak,” ucap Monalisa. “Hanya tempat untuk menyebut nama-nama itu dengan lantang.”
Musa menunjuk rerumputan yang tumbuh liar di sekitar menara. “Di sini tidak ada batu nisan, tapi aku yakin mereka masih tinggal di antara akar-akar ini.”
Matahari sore mulai turun, cahayanya menyusup malu-malu melalui ranting dan langit yang bersedih. Cahaya itu menyentuh wajah Monalisa seperti pelukan dari masa lalu.
“Setiap kali aku menyebut nama ayahku, bumi bergetar sedikit,” ujar Musa. “Mungkin itu cara tanah ini menjawab.”
Monalisa menoleh padanya. “Kita anak-anak dari yang dituduh makar, tapi kita pewaris cinta yang paling jujur.”
Tower tua itu mendengar semua bisikan mereka, menampungnya dalam dinding-dinding retaknya. Ia adalah kitab tanpa tulisan, tapi penuh makna.
Monalisa menarik napas dalam, menatap laut lepas. “Ayahku pernah berkata, jangan takut jika tak punya pusara, asal punya nama yang disebut dalam kasih.”
Musa menjawab pelan, “Dan tak apa jika nama tak tercetak, selama ada yang mengingatnya dengan doa.”
Laut tidak lagi bergelombang besar. Ia kini menjadi altar doa, tempat bunga dilemparkan untuk nama-nama yang tidak kembali.
Setiap kali Musa dan Monalisa datang, rerumputan tampak lebih hijau, angin lebih lembut. Seolah tanah ini tahu: ada yang masih setia mengingat.
Dan dalam bisikan mereka malam itu, menara pun ikut bicara. Ia berkata, “Aku belum lupa, dan kalian pun jangan.”
Nama-nama yang hilang itu bukan sekadar angka dalam catatan. Mereka adalah ayah, ibu, saudara, sahabat, kini hidup dalam langkah dua anak muda yang bertahan.
Monalisa menggenggam tangan Musa, kuat dan lembut. “Kita tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa membuatnya tetap hidup.”
Musa mengangguk. “Dengan cinta, dan dengan ingatan yang tak pernah kami izinkan pudar.”
Dan Biak, tanah yang berdarah tapi tak menyerah, mendekap mereka dalam diam. Ia tahu: selama Musa dan Monalisa terus datang, pusara yang tak bernama pun akan tetap berarti.
Catatan akhir:
Cerpen berdasarkan peristiwa nyata Biak Berdarah, 6 Juli 1998.