MERAUKE, JELATANEWSPAPUA.COM – Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua (KPHHP) menuntut Presiden Republik Indonesia segera mencabut kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kabupaten Merauke yang dinilai melegalkan praktik penyerobotan dan penggelapan tanah adat milik Marga Kwipalo. Proyek tersebut dilaksanakan oleh PT. Murni Nusantara Mandiri, sebuah perusahaan yang dituding menggunakan aparat kepolisian untuk mengkriminalisasi masyarakat adat Papua yang menolak keberadaannya.
Kasus ini mencuat setelah Vinsen Kwipalo, pemilik sah tanah adat Marga Kwipalo, dipanggil oleh Polres Merauke pada 2 Oktober 2025. Pemanggilan tersebut dilakukan atas laporan seorang karyawan PT. Murni Nusantara Mandiri, meski perusahaan itu justru dituding melakukan pelanggaran hukum dengan menyerobot tanah adat.
Akar Konflik: Tanah Adat Malind Anim-ha
Sejak awal, rencana pengembangan PSN di wilayah adat Malind Anim tidak pernah dikomunikasikan dengan pemilik sah tanah adat. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua, setiap penyediaan tanah ulayat untuk kepentingan apapun harus melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat.
Vinsen Kwipalo dan keluarganya konsisten menolak proyek ini. Berbagai langkah penolakan telah dilakukan, mulai dari menanam Salib Merah di wilayah adat sebagai simbol protes, menggelar aksi demonstrasi di Merauke dan Jakarta, hingga mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Puncaknya terjadi pada 15 September 2025, ketika Vinsen bersama keluarga menghentikan aktivitas pembongkaran lahan dengan alat berat milik perusahaan. Namun, justru ia yang dilaporkan ke polisi oleh pihak perusahaan.
Dugaan Kriminalisasi
Koalisi KPHHP menilai laporan polisi terhadap Vinsen Kwipalo adalah bentuk kriminalisasi terhadap pembela HAM. Mereka menyebut, perusahaan menggunakan aparat negara untuk menutupi tindak pidana penyerobotan dan penggelapan tanah adat.
“Tindakan PT. Murni Nusantara Mandiri jelas merupakan pelanggaran Pasal 385 ayat (1) KUHP tentang penyerobotan tanah. Alih-alih diproses hukum, justru korban kriminalisasi. Ini pelecehan hukum dan pelanggaran HAM,” tegas Koalisi dalam siaran pers, Jumat (3/10/2025).
Dasar Hukum yang Dilanggar
Koalisi menyebutkan sejumlah dasar hukum yang seharusnya melindungi hak masyarakat adat Papua, di antaranya:
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 Negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya. UU Nomor 2 Tahun 2021 (Perubahan Kedua UU Otsus Papua) Hak ulayat masyarakat adat wajib dilindungi dan dihormati. Perda Kabupaten Merauke Nomor 5 Tahun 2013 Pemerintah daerah wajib mengakui hak-hak adat Malind Anim, termasuk hak penguasaan wilayah dan perjanjian dengan pihak ketiga. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 6 Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat, harus dilindungi oleh negara.
Menurut Koalisi, semua aturan tersebut menunjukkan bahwa wilayah adat Marga Kwipalo tidak bisa begitu saja dihapuskan atau dialihkan dengan alasan Proyek Strategis Nasional.
Tuntutan kepada Pemerintah
Melalui siaran persnya, Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua mengajukan lima tuntutan utama:
1. Presiden RI segera mencabut kebijakan Proyek Strategis Nasional di Merauke serta SK Menteri LHK Nomor 835 Tahun 2024 yang melegalkan PT. Murni Nusantara Mandiri.
2. Menteri HAM RI segera membatalkan proyek tersebut karena melanggar hak masyarakat adat.
3. Kapolri memerintahkan Kapolres Merauke menghentikan praktik kriminalisasi terhadap Vinsen Kwipalo dan keluarganya.
4. Komnas HAM RI melindungi Vinsen Kwipalo sebagai pembela HAM dari ancaman kriminalisasi.
5. Gubernur Papua Selatan dan Bupati Merauke segera memerintahkan penghentian aktivitas PT. Murni Nusantara Mandiri di atas tanah adat Marga Kwipalo.
Koalisi menegaskan bahwa perjuangan Vinsen Kwipalo adalah perjuangan pembela HAM untuk melindungi tanah adatnya dari praktik perampasan tanah berkedok proyek pembangunan.
“Negara tidak boleh menutup mata. Hak ulayat masyarakat adat Papua adalah hak konstitusional yang dijamin UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan. Jika negara membiarkan kriminalisasi ini, maka negara ikut serta dalam pelanggaran HAM,” tegas Koalisi.
Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua terdiri dari berbagai organisasi, antara lain LBH Papua, PAHAM Papua, ALDP, SKP KC Sinode Tanah Papua, JPIC OFM Papua, Elsham Papua, Yadupa, YLBHI, LBH Papua Merauke, LBH Papua Pos Sorong, dan KontraS Papua. (*)