NABIRE, JELATANEWSPAPUA.COM – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua mengungkap bahwa hampir 44 ribu hektar hutan alam di Provinsi Papua Tengah telah hilang akibat aktivitas industri ekstraktif, terutama perkebunan kelapa sawit dan tambang.
Hal ini disampaikan Direktur WALHI Papua, Maikel Primus Peuki, usai menjadi narasumber dalam seminar bertajuk “Pembangunan yang Adil dan Berkelanjutan” yang digelar di salah satu hotel di Nabire, Jumat (30/5/2025).
“Papua Tengah memiliki potensi sumber daya alam yang luar biasa, dari pegunungan, pesisir, hingga pulau-pulau kecil. Namun, ancaman terhadap keberlanjutan lingkungan semakin nyata seiring ekspansi industri,” ungkap Maikel.
Jejak Kehilangan Hutan di Nabire dan Mimika
Menurut Maikel, di Kabupaten Nabire, perusahaan PT Nabire Baru sejak 2015 telah mengantongi izin pelepasan kawasan hutan untuk sekitar 40 ribu hektar lahan. Dari jumlah itu, 28 ribu hektar telah dikelola sebagai perkebunan kelapa sawit, sementara sisanya sekitar 12 ribu hektar masih berupa hutan alam yang belum tersentuh.
Sementara di Kabupaten Mimika, WALHI mencatat keberadaan perusahaan PT Lestari yang telah bangkrut sejak 2021. Pemerintah daerah kemudian melakukan mediasi dan menyerahkan pengelolaan ke perusahaan baru PT KDS. Perusahaan ini menguasai 32 ribu hektar konsesi sawit, di mana sekitar 18 ribu hektar telah dibuka, dan 14 ribu hektar lainnya masih berupa hutan adat yang terancam.
“Kalau ditotal, sudah ada sekitar 44 ribu hektar hutan alam yang hilang, dan ini baru dari sektor sawit. Belum termasuk pertambangan seperti Freeport,” kata Maikel.
Peringatan atas Ancaman Deforestasi
Maikel menegaskan bahwa angka kehilangan hutan ini akan terus bertambah apabila tidak ada pengawasan ketat dari pemerintah daerah. Bahkan, WALHI memperkirakan potensi kehilangan hutan bisa mencapai 50 ribu hektar jika pembukaan lahan terus dibiarkan tanpa kendali.
“Jika aktivitas deforestasi tidak dihentikan, maka kerusakan lingkungan akan semakin besar, dan masyarakat adat akan menjadi pihak yang paling terdampak,” ujarnya.
Pentingnya Jurnalisme dan Edukasi untuk Penyelamatan Hutan Adat
Dalam seminar tersebut, WALHI juga menyoroti pentingnya peran media dan organisasi masyarakat sipil dalam mengangkat isu-isu lingkungan, terutama yang menyangkut hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hutan mereka.
“Kami mendorong jurnalis untuk aktif meliput isu lingkungan di Papua Tengah. Ini bukan hanya isu lokal, tapi juga isu global terkait perubahan iklim,” tegas Maikel.
Ia menambahkan bahwa masyarakat adat perlu diberi edukasi dan advokasi mengenai hak atas tanah ulayat, termasuk kejelasan tentang bagi hasil dari aktivitas perusahaan yang beroperasi di wilayah adat mereka.
“Pemerintah provinsi harus mengevaluasi seluruh izin tambang dan perkebunan, terutama di dua kabupaten tersebut. Jika tidak sesuai prinsip keadilan dan keberlanjutan, izinnya sebaiknya dicabut dan lahan dikembalikan kepada masyarakat adat untuk dikelola secara turun-temurun,” pungkasnya.