Paulo Freire (1921-1997) adalah seorang tokoh multikultural yang begitu gencar berbicara tentang ‘pendidikan yang membebaskan'. Tesisnya tentang ‘pendidikan yang membebaskan' itu termaktub dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed, 1970).
Dalam buku ini, Freire menggambarkaan tentang kaum elitis dalam segala kebijakan dan praksisnya, menjadikan pendidikan sebagai instrumen untuk menindas dan merampas hak-hak asasi masyarakat kecil, sehingga mereka tetap berada dalam “kebudayaan bisu” (submerged in the culture of silence).
“Kebudayaan bisu” itu dapat kita jumpai dalam segala aspek kehidupan di masa kini di tengah euforia demokrasi, nasib bangsa Indonesia sungguh ironis. Salah satu hal yang sangat umum terjadi menjelang pemilihan kepala daerah maupun DPR, entah di tingkat daerah, provinsi atau pusat. Seperti kisah anak dan ibu tiri yang jahat, ketika ada ayah, ibu tiri bermulut manis dan amat sayang. Namun saat sang ayah pergi, ibu tiri amat galak dan kejam. Sang ayah tidak bisa berbuat banyak karena benturan dua kepentingan, istri dan anak.
Menjelang pemilu litani janji-janji manis dibentangkan di depan rakyat. Ketika menduduki kursi empuk dan jabatan terhormat, tidak lagi menghormati masyarakatnya, janji manis hilang seketika. Beribu alasan dipaparkan dikhalayak umum dan aturan-aturan yang berorientasi pada pemerasan dan penindasan rakyatnya mulai di kampenyekan. Dengannya, segala kerinduan, harapan dan cita-cita luhur masyarakat ditimbun sedalamnya oleh tipu musliat para politikus agar kepentingan mereka tercapai.
Cita-cita luhur yang ditimbun oleh tumpukkan kepentingan pribadi atau kelompok elit politis merupakan keberhasilan terciptanya “kebudayaan bisu.” Seringkali tindakan seseorang tertuju pada kepentingan kelompok, bahkan kepentingan Negara. Dalam hal ini, Gutteres menggambarkan dengan baik dalam pandangannya tentang Teologi Pembebasan, yakni berkaitan dengan struktur penuh dosa, penindasan dan pemerasan hak-hak asasi hidup rakyat kecil yang berlangsung dalam struktur dengan aturan-aturan yang tetata rapi.
Tak disangkal bahwa, kepentingan bangsa lain (bangsa luar yang berkepentingan di Indonesia) diselamatkan oleh Negara Indonesia yang dijabarkan dalam aturan-aturannya dan dikawal oleh aparat NKRI, aturan itu berlaku untuk semua manusia, flora dan fauna serta benda-benda yang tidak bergerak. Akibat fatal yang terjadi adalah masyarakat menjadi korban ganda, yakni pertama, dari kepentingan Negara lain di dalam Negara Indonesia, di atas tanah leluhurnya, kedua oleh para penguasa yang menjalankan kepentingan Negara lain melalui aturan-aturan yang didiktekan dan dijalankannya. Dengannya, tidak ada ruang bagi rakyat menjadi tuan di atas negrinya sendiri, masyarakat dan penguasa di Negara Indonesia menjadi objek atas kepentingan Negara lain, aspirasi rakyat yang berjuang untuk menjadi subjek dimentahkan, dan banyak hal yang dapat kita jumpai akibat struktur yang menindas dan memeras. Berkaitan dengannya, Prabowo dalam ruang debat kandidat mengatakan dengan tegas bahwa “kita seharusnya bangga dengan kekayaan yang ada, tetapi sayangnya semua kekayaan itu BOCOR. Teryata kekayaan kita itu bocor dikuasai Negara luar, kita ditipu.”
Struktur dengan aturan yang menindas dan memeras itu semakin menguburkan harapan luhur rakyat oleh para penguasa di negri ini karena menjilat Negara lain (Negara penjajah). Negara kita ini sudah sangat tergantung pada Negara-negara luar.Untuk itu menjadi nyata bahwa rakyat tetap berada dalam “kebudayaan bisu” (submerged in the culture of silence). Sehingga Rakyak sudah lama dipaksa tidur panjang dalam “kebudayaan bisu”.
Situasi demikian disebut Guteres “situasi penuh dosa” yang diakibatkan oleh “struktur penuh dosa.” Untuk itu, setiap orang dipanggil dan diutus untuk menciptakan situasi penuh rahmat atau rakyat dan para penguasa neraga ini harus bangkit dari tidur panjang yang mengurung diri dan dikurung dalam “kebudayaan bisu.” Tindakan kebangkitan dari tidur panjang amat diperlukan. Oleh karena itu, menjadi kebawajiban bagi setiap orang berupaya menghadirkan situasi berahmat ditenggah dunia ini. Maka, pertama, para penguasa mesti berpihak kepada rakyat dan mengedepankan kepentingan bersama, kedua, harus berani menetapkan kebijakan untuk menguasai atau menghentikan perusahan-peruhan raksasa asing yang beroperasi di wilayah Indonesia, dan menghentikan perusahaan-perusahaan liar yang berdampak buruk pada kehidupan manusia.
Comments 1