JAKARTA, JELATANEWSPAPUA.COM – 4 Juni 2025 kemarin, Anggota Komisi VII DPR RI Novita Hardini menyatakan penolakannya terhadap rencana aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya. Ia menegaskan bahwa kawasan tersebut merupakan wilayah konservasi penting dan bukan tempat untuk eksplorasi mineral.
“Raja Ampat bukan kawasan biasa. Ini adalah salah satu surga biodiversitas laut dunia yang sudah diakui UNESCO sebagai Global Geopark. Kawasan ini bukan tempat yang bisa dikompromikan untuk kegiatan pertambangan. Jangan rusak kawasan ini hanya demi mengejar hilirisasi nikel,” ujar Novita dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (4/6).
Penolakan tersebut disampaikan menyusul adanya laporan terkait kemungkinan eksploitasi nikel di kawasan pesisir Raja Ampat, wilayah yang dikenal sebagai salah satu ekosistem laut terkaya di dunia.Novita menyebut, Raja Ampat terdiri dari lebih dari 610 pulau dan merupakan rumah bagi 75 persen spesies laut dunia, termasuk 540 jenis karang dan lebih dari 1.500 spesies ikan.
Politikus PDI Perjuangan itu juga menyoroti aspek legal terkait perlindungan kawasan tersebut. Menurutnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara tegas menyebut bahwa pemanfaatan wilayah seperti Raja Ampat hanya diperbolehkan untuk pariwisata, konservasi, budidaya laut, dan penelitian.
“Tidak ada satu pun pasal dalam undang-undang tersebut yang melegalkan eksplorasi atau penambangan mineral di kawasan itu. Artinya, setiap bentuk tambang di wilayah tersebut adalah pelanggaran hukum dan ekologi,” tegasnya.
Dari sisi ekonomi, Novita menambahkan bahwa sektor pariwisata sudah memberikan kontribusi signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ia mengutip data Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat yang menyebut bahwa pariwisata menyumbang sekitar Rp150 miliar per tahun, dengan rata-rata kunjungan mencapai 30.000 wisatawan setiap tahun, di mana 70 persen adalah wisatawan mancanegara.
“Potensi ekonomi Raja Ampat bukan pada tambang, tapi pada lautnya yang lestari. Jika kita merusaknya, kita kehilangan segalanya: alam, budaya, dan penghidupan masyarakat lokal,” tutup Novita.
Sampai berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah Papua Barat Daya mengenai isu pertambangan nikel di wilayah tersebut.