JAYAPURA, JELATANEWSPAPUA.COM – Gagasan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua menyiapkan lapangan khusus untuk aksi demonstrasi di halaman gedung parlemen kini menjadi perbincangan publik. Ide ini mengundang tanggapan pro dan kontra, terutama dari kalangan aktivis hak asasi manusia dan pegiat demokrasi di Papua.
Pengurus YLBHI Papua, Emanuel Gobai, menyebut wacana tersebut berpotensi membuka ruang demokrasi yang lebih sehat. Menurutnya, keberadaan lapangan demonstrasi di area parlemen akan menjadi simbol keterbukaan lembaga legislatif terhadap rakyat yang diwakilinya. Dengan begitu, aspirasi masyarakat dapat diterima tanpa sekat dan tanpa harus turun ke jalan.
“Selama ini DPR lebih sering menjadi kepanjangan tangan partai dan eksekutif karena hutang politik kepada pemilik modal. Aspirasi rakyat kerap dibatasi, bahkan sering kali diabaikan. Lapangan demonstrasi di halaman parlemen bisa menjadi jalan keluar agar suara rakyat benar-benar terdengar,” kata Gobai kepada suarapapua.com, Minggu (14/09).
Menurutnya, jika usulan ini bisa diwujudkan, maka tidak ada lagi istilah “DPR Jalanan” yang selama ini melekat ketika anggota DPR menerima aspirasi di jalan raya bersama massa aksi. Keberadaan ruang aspirasi resmi di halaman parlemen juga dinilai dapat meminimalisasi potensi bentrok antara demonstran dengan aparat keamanan.
Namun, Gobai tetap mempertanyakan sejauh mana ide ini bisa diimplementasikan. Ia menilai praktik politik di Indonesia masih dikuasai oleh kepentingan oligarki yang kerap menutup ruang bagi rakyat kecil.
“Pertanyaannya, apakah DPR dan Kepolisian yang selama ini dianggap anti-demokrasi bersedia membuka ruang itu? Apakah mereka siap menerima rakyat secara terbuka tanpa represi?” ujarnya.
Gobai juga mengkritisi pola aparat keamanan dalam menangani aksi massa. Ia menyoroti praktik di lapangan di mana surat pemberitahuan aksi sering kali diperlakukan seolah-olah sebagai izin resmi.
“Padahal undang-undang menjamin setiap warga negara bebas menyampaikan pendapat di muka umum. Tetapi praktiknya, aparat justru memaknai surat pemberitahuan sebagai izin, dan jika tidak ada izin maka aksi dibubarkan. Inilah bentuk pembatasan demokrasi,” tegasnya.
Selain itu, ia menyinggung pendekatan represif aparat yang kerap berujung pada bentrokan, penangkapan, kriminalisasi aktivis, bahkan jatuhnya korban jiwa. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa ruang demokrasi di Indonesia, khususnya di Papua, masih sangat terbatas dan penuh risiko bagi rakyat yang hendak bersuara.
Meski penuh tantangan, Gobai menegaskan bahwa ide penyediaan lapangan demonstrasi di halaman parlemen sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Khususnya sila keempat yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”
“Jika lapangan demonstrasi benar-benar diwujudkan, maka itu bisa menjadi simbol nyata pelaksanaan sila keempat. Rakyat tidak lagi dianggap ancaman, tetapi mitra sejajar dalam demokrasi. Namun harus diingat, langkah ini jangan berhenti pada simbol saja. Jangan sampai hanya jadi ‘obat pereda’ sementara, tanpa menyelesaikan luka demokrasi yang sesungguhnya dialami rakyat akibat kebijakan yang tidak pro-rakyat,” ungkap Gobai.
Ia menambahkan, demokrasi tidak cukup hanya dengan menyediakan tempat. Yang lebih penting adalah komitmen DPR untuk benar-benar mendengar, memperjuangkan, dan mengawal aspirasi rakyat hingga terwujud dalam kebijakan. Jika tidak, maka lapangan demonstrasi hanya akan menjadi “panggung kosong” tanpa makna.
Hingga berita ini diturunkan, usulan penyediaan lapangan demonstrasi di halaman gedung parlemen Papua masih sebatas wacana. DPR Papua maupun pemerintah daerah belum memberikan tanggapan resmi. Sementara itu, publik terus memperdebatkan gagasan ini, sebagian menyambut baik sebagai langkah maju, namun sebagian lainnya meragukan keseriusan parlemen untuk benar-benar membuka diri terhadap rakyat.