YALIMO, JELATANEWSPAPUA.COM – Ikatan Pelajar Mahasiswa Kabupaten Yalimo (IPMKY) Kota Studi Merauke, Papua Selatan, mengeluarkan pernyataan sikap mengecam keras tindakan rasisme yang dialami pelajar SMA Negeri 1 Elelim, Kabupaten Yalimo, Provinsi Papua Pegunungan, yang berujung kerusuhan pada Senin–Selasa, 15–16 September 2025.
Kronologis peristiwa bermula saat seorang siswa asli Yalimo melukis gambar manusia di papan tulis. Lukisan itu mendapat apresiasi dari rekan-rekan sekelas, namun seorang siswa non-OAP (Orang Asli Papua) justru melontarkan kata-kata rasis dengan menyebut, “Ko gambar itu seperti monyet, muka monyet, ko memang monyet.”
Ucapan tersebut memicu amarah pelajar Papua.
Keesokan harinya, Selasa (16/9), sekelompok siswa Papua mendatangi dan menanyakan pernyataan tersebut. Ketegangan berujung pada pemukulan terhadap siswa non-OAP hingga situasi merembet ke luar sekolah. Massa kemudian melakukan pembakaran terhadap kios milik keluarga siswa yang melontarkan ujaran rasis, serta merusak sejumlah kios warga pendatang di sekitar Jalan Trans Wamena–Elelim.
Aparat keamanan yang tiba di lokasi berupaya mengendalikan massa, namun kerusuhan meluas dan api membakar sejumlah ruko serta kios di kawasan tersebut. Hingga siang hari, kobaran api masih terlihat dan situasi kota Elelim mencekam.
Dalam upaya pengendalian massa, aparat melepaskan tembakan yang mengenai warga sipil. Seorang pemuda bernama Zadrak Yohame dilaporkan meninggal dunia, sementara dua orang lainnya mengalami luka tembak serius. Jenazah Zadrak Yohame telah dibawa ke kediaman keluarganya di Kampung Hubakma, Elelim. Hingga kini jumlah korban dari pihak non-OAP maupun aparat keamanan masih dalam penyelidikan.
Menurut IPMKY, insiden ini bukan kasus tunggal, melainkan rangkaian panjang diskriminasi dan rasisme yang dialami orang Papua sejak lama.
Mereka menilai ujaran rasis “monyet” merupakan bentuk penghinaan terhadap martabat manusia Asli Papua, sekaligus pemicu konflik horizontal dan pendekatan represif negara melalui aparat keamanan.
“Rakyat Papua bukan monyet, kami manusia yang punya harkat dan martabat. Rasisme adalah bentuk kebencian dan diskriminasi yang terus memelihara konflik di tanah Papua. Untuk mengakhiri rasisme dan penindasan, bangsa Papua berhak atas penentuan nasib sendiri,” tegas IPMKY dalam konferensi persnya.
IPMKY juga menyinggung bahwa pelajar dan mahasiswa Papua di berbagai kota studi di luar Papua, seperti Jawa, Bali, dan Makassar, masih sering mengalami intimidasi, diskriminasi, hingga ujaran kebencian yang melukai psikologis dan menimbulkan trauma kolektif.
Mereka menilai peristiwa di Elelim menambah daftar panjang korban kekerasan negara di tanah Papua, sekaligus memperlihatkan kegagalan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan masalah rasisme.
Tuntutan IPMKY
Melalui konferensi pers, IPMKY Merauke menyampaikan enam tuntutan utama:
1. Mengutuk segala bentuk tindakan rasisme terhadap pelajar dan rakyat Yalimo.
2. Mengadili pelaku diskriminasi rasial terhadap pelajar dan rakyat Papua di Yalimo.
3. Menghentikan segala bentuk pemeliharaan praktik rasis di tanah Papua.
4. Mengungkap dan menangkap pelaku penembakan yang menewaskan Zadrak Yohame.
5. Menarik kembali aparat militer organik maupun non-organik dari Yalimo dan seluruh tanah Papua.
6. Menyatakan hukum dan kebijakan negara Republik Indonesia masih bersifat diskriminatif serta rasis terhadap rakyat Papua.
Situasi di Elelim hingga kini masih belum sepenuhnya kondusif. Warga setempat dilaporkan dalam kondisi waspada dan takut akan potensi konflik susulan.
IPMKY menyerukan perhatian serius dari pemerintah pusat, lembaga HAM, hingga komunitas internasional untuk menjamin keselamatan rakyat sipil Papua serta menghentikan praktik rasisme yang melanggengkan konflik di tanah Papua.(*)