SORONG, JELATANEWSPAPUA.COM — Masyarakat Adat Independen Papua (MAI) dengan tegas menolak pemindahan empat tahanan politik (Tapol) NRFPB dari Sorong ke Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka menuntut agar keempatnya segera dibebaskan tanpa syarat sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Penolakan ini lahir dari aksi massa Solidaritas Rakyat Papua Pro Demokrasi Se-Sorong Raya yang berlangsung sejak 26 Agustus 2025. Massa bersama keluarga tapol mendatangi halaman Polresta Sorong Kota untuk menghalangi rencana pemindahan tersebut.
Menurut MAI pemindahan tapol ke luar Papua bukan sekadar urusan teknis hukum. Tindakan ini adalah bentuk represi politik terhadap rakyat Papua yang terus menuntut keadilan.
Aksi protes di Sorong diwarnai dengan kekerasan aparat. Delapan warga Papua ditangkap, tiga orang ditembak, dan satu orang diculik pada 27 Agustus 2025.
MAI menilai langkah ini tidak sah karena bertentangan dengan pasal 85 KUHAP. Undang-undang hanya membolehkan pemindahan sidang jika terjadi bencana alam atau gangguan keamanan, bukan karena motif politik.
Gubernur Papua Barat Daya bersama FORKOPIMDA disebut sebagai aktor utama pemindahan ini. Mereka dituding menerbitkan surat kuasa bermuatan politis untuk memaksa pemindahan keempat tapol.
Bagi MAI hal tersebut merupakan bentuk kriminalisasi terhadap perjuangan rakyat Papua. Negara menggunakan hukum sebagai alat untuk menekan gerakan pro demokrasi.
Situasi di Sorong disebut semakin tidak kondusif sejak aksi solidaritas digelar. Aparat TNI/Polri melakukan tindakan represif dan menutup ruang demokrasi bagi masyarakat.
MAI mengecam penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat negara. Kekerasan militeristik terhadap massa aksi dipandang sebagai bukti watak kolonial Indonesia di Papua.
Pernyataan Sikap
1. Mendesak Mahkamah Agung segera membatalkan fatwa yang melegitimasi pemindahan empat tahanan politik Papua NRFPB dari Sorong ke Makassar, sehingga proses persidangan tetap dilakukan di Kota Sorong.
2. Menuntut Gubernur Papua Barat Daya beserta jajaran Forkopimda bertanggung jawab atas pemindahan empat tapol yang dilakukan dengan menggunakan surat kuasa bermuatan politis yang tidak sah.
3. Mendesak pemerintah Indonesia untuk segera membebaskan keempat tapol NRFPB tanpa syarat.
4. Menuntut Gubernur Papua Barat Daya dan Forkopimda bertanggung jawab atas situasi tidak kondusif di Kota Sorong sejak 27 Agustus 2025, termasuk terhadap delapan warga Papua yang ditahan, tiga orang yang ditembak, dan satu orang yang diculik.
5. Mengecam keras penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat TNI/Polri terhadap massa aksi Solidaritas Rakyat Papua Se-Sorong Raya.
6. Mendesak Gubernur Papua Barat Daya dan Kapolda Papua Barat Daya untuk menghentikan praktik penangkapan sewenang-wenang serta upaya kriminalisasi terhadap solidaritas rakyat Papua pro demokrasi dan keluarga tapol NRFPB.
7. Menuntut penghentian segala bentuk kekerasan militer terhadap masyarakat sipil dan aktivis pro demokrasi di seluruh tanah Papua maupun di Indonesia.
8. Menuntut penarikan seluruh pasukan militer, baik organik maupun non-organik, dari Kota Sorong dan dari seluruh tanah Papua.
9. Mendesak pengusutan tuntas kasus pembunuhan Tobias Silak serta menindak tegas para pelakunya.
10. Menuntut dibukanya akses ruang demokrasi di Kota Sorong dan di seluruh tanah Papua.
11. Menegaskan bahwa negara harus bertanggung jawab untuk menangkap dan mengadili seluruh pelaku pelanggaran HAM berat di tanah Papua.
12. Mendesak agar akses jurnalis nasional maupun internasional segera dibuka di seluruh tanah Papua.
13. Menolak keberadaan PT Freeport serta menegaskan bahwa hak penentuan nasib sendiri merupakan solusi demokratis bagi bangsa Papua Barat.MAI Papua Tolak Pemindahan 4 Tapol NRFPB ke Makassar, Desak Bebaskan Tanpa Syarat
SORONG, JELATANEWSPAPUA.COM — Masyarakat Adat Independen Papua (MAI) dengan tegas menolak pemindahan empat tahanan politik (Tapol) NRFPB dari Sorong ke Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka menuntut agar keempatnya segera dibebaskan tanpa syarat sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Penolakan ini lahir dari aksi massa Solidaritas Rakyat Papua Pro Demokrasi Se-Sorong Raya yang berlangsung sejak 26 Agustus 2025. Massa bersama keluarga tapol mendatangi halaman Polresta Sorong Kota untuk menghalangi rencana pemindahan tersebut.
Menurut MAI pemindahan tapol ke luar Papua bukan sekadar urusan teknis hukum. Tindakan ini adalah bentuk represi politik terhadap rakyat Papua yang terus menuntut keadilan.
Aksi protes di Sorong diwarnai dengan kekerasan aparat. Delapan warga Papua ditangkap, tiga orang ditembak, dan satu orang diculik pada 27 Agustus 2025.MAI menilai langkah ini tidak sah karena bertentangan dengan pasal 85 KUHAP. Undang-undang hanya membolehkan pemindahan sidang jika terjadi bencana alam atau gangguan keamanan, bukan karena motif politik.
Gubernur Papua Barat Daya bersama FORKOPIMDA disebut sebagai aktor utama pemindahan ini. Mereka dituding menerbitkan surat kuasa bermuatan politis untuk memaksa pemindahan keempat tapol.
Bagi MAI hal tersebut merupakan bentuk kriminalisasi terhadap perjuangan rakyat Papua. Negara menggunakan hukum sebagai alat untuk menekan gerakan pro demokrasi.
Situasi di Sorong disebut semakin tidak kondusif sejak aksi solidaritas digelar. Aparat TNI/Polri melakukan tindakan represif dan menutup ruang demokrasi bagi masyarakat.MAI mengecam penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat negara. Kekerasan militeristik terhadap massa aksi dipandang sebagai bukti watak kolonial Indonesia di Papua.
Pernyataan Sikap
Pernyataan Sikap
1. Mendesak Mahkamah Agung segera membatalkan fatwa yang melegitimasi pemindahan empat tahanan politik Papua NRFPB dari Sorong ke Makassar, sehingga proses persidangan tetap dilakukan di Kota Sorong.
2. Menuntut Gubernur Papua Barat Daya beserta jajaran Forkopimda bertanggung jawab atas pemindahan empat tapol yang dilakukan dengan menggunakan surat kuasa bermuatan politis yang tidak sah.
3. Mendesak pemerintah Indonesia untuk segera membebaskan keempat tapol NRFPB tanpa syarat.
4. Menuntut Gubernur Papua Barat Daya dan Forkopimda bertanggung jawab atas situasi tidak kondusif di Kota Sorong sejak 27 Agustus 2025, termasuk terhadap delapan warga Papua yang ditahan, tiga orang yang ditembak, dan satu orang yang diculik.
5. Mengecam keras penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat TNI/Polri terhadap massa aksi Solidaritas Rakyat Papua Se-Sorong Raya.
6. Mendesak Gubernur Papua Barat Daya dan Kapolda Papua Barat Daya untuk menghentikan praktik penangkapan sewenang-wenang serta upaya kriminalisasi terhadap solidaritas rakyat Papua pro demokrasi dan keluarga tapol NRFPB.
7. Menuntut penghentian segala bentuk kekerasan militer terhadap masyarakat sipil dan aktivis pro demokrasi di seluruh tanah Papua maupun di Indonesia.
8. Menuntut penarikan seluruh pasukan militer, baik organik maupun non-organik, dari Kota Sorong dan dari seluruh tanah Papua.
9. Mendesak pengusutan tuntas kasus pembunuhan Tobias Silak serta menindak tegas para pelakunya.
10. Menuntut dibukanya akses ruang demokrasi di Kota Sorong dan di seluruh tanah Papua.
11. Menegaskan bahwa negara harus bertanggung jawab untuk menangkap dan mengadili seluruh pelaku pelanggaran HAM berat di tanah Papua.
12. Mendesak agar akses jurnalis nasional maupun internasional segera dibuka di seluruh tanah Papua.
13. Menolak keberadaan PT Freeport serta menegaskan bahwa hak penentuan nasib sendiri merupakan solusi demokratis bagi bangsa Papua Barat.