Oleh: Marius Goo S.S., M.Fil
Allah menghendaki semua orang merdeka dan memerdekakannya: “Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal. Hidup sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah,” (Bdk, Rm. 6:22; 1Ptr 2:16). Pencarian dan penemuan diri sebagai hamba Allah yang telah dimerdekakan harus bermula dari tungku Api: “Ageida, Uguda, Owapa.” Maka gerakan “Ooda-Owaada menjadi wadah yang paling tepat dan paling ampuh untuk merawat kemerdekaan dan kesejatian hidup manusia Mee-Papua. Dalam usaha merawat kekudusan hidup, kita harus belajar tentang pendidikan Ooda-Owada, bagaimana menjaga kekudusan, sekaligus menyemaikannya di tengah dunia yang penuh dengan “kepalsuan, hoax, penipuan dan kekerasan” yang membawa kepada kehancuran dan kemusnahan. Memperbaikai semua tatanan kehidupan yang dirusak, tidak lain dan tidak bukan adalah melalui pendidikan yang bermutu. Pendidikan apa yang paling tepat untuk kita? Bagaimana membangun dan mengembangkan pendidikan yang berkualitas? Apa pola pendidikan yang paling tepat untuk kita? Dapatkan Pendidikan berpola tungku api dapat mengembalikan kemerdekaan kita?
Pendidikan
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara dan perbuatan mendidik. Bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengambangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan bagi dirinya dan masyarakat dalam mengarungi arus kehidupan.
Membangun bangsa yang cerdas dan mampu mewujudkan kesejahteraan jasmani dan rohani membutuhkan pendidikan yang menyeluruh, sistematik dan berkualitas. Pendidikan menyeluruh meliputi bidang keilmuan, keimanan dan perkembangan manusia dalam lingkungan hidup yang nyata.
Tungku Api
Tungku Api seperti yang kita pahami bersama berarti, “Ugu, atau Unguda”. Selanjutnya diperluas menjadi “Ageida Uguda”. Berbicara soal “ageida uguda” tidak lain berarti berbicara terkait dengan “Ooda-Owaada”. Ooda-Owada itu sebagai satu lembaga pendidikan, pendidikan kehidupan atau sekolah kehidupan.
Tungku api dari kata tungku dan api, kalaupun dapat diartikan dalam bahasa Mee hanya ugu atau uguda. Artinya, tungku tanpa api dan asap tetap tidak berguna. Maka setiap orang wajib memiliki tungku, dan setiap tungku harus ada api dan asap. Api yang menyalah dan asap yang mengempul dari tungku melambangkan “kehangatan dan kehidupan”.
Setiap orangtua menjadi dasar, menjadi bapa dan mama di rumah demi masa depan anak-anak dan setiap anak pun harus ada dalam rumah. Bersama keluarga dan kehangatan kebersamaan membumbungkan asap sebagai persembahan diri keluarga dalam keharmonisan dan keutuhan. Setiap keluarga mempertahankan tanah leluhur, tanpa berpindah-pindah, apalagi menjual. Setiap orang wajib memiliki rumah, terlebih yang sudah berkeluarga. Setiap keluarga wajib memiliki rumah yang dipagari, kebun dan ternak piaraan. Setiap anak Mee tidak bermalam ke rumah orang lain (tetangga). Setiap anak Mee wajib memiliki teman yang baik, sopan, yang selalu ke Gereja, yang rajin ke sekolah; sebaliknya menjauhi teman-teman yang hidupnya kacau, yang mabuk-mabukan, yang pemalas ke sekolah. Mereka yang tidak sopan, yang hidupnya kacau dan mabuk-mabukkan. Orang-orang Mee yang hidupnya kacau adalah tugas kita untuk menobatkan mereka, membalikkan cara hidup mereka yang tidak baik menjadi baik, menjadi berguna untuk Gereja dan bangsa kita.
Pendidikan Berpola Tungku Api
Pendidikan Berpola tungku Api yang dimaksud adalah pendidikan yang berakar dalam budaya. Pendidikan yang membudaya, atau pendidikan budaya dan membudayakan pendidikan: yakni pendidikan yang bersifat bersifat antropologi metafisik, profetik dan tidak sebatas utopis.
Pendidikan berpola tungku api merupakan satu pola pendidikan yang sangat penting dan mendesak dalam usaha pemanusiaan, penyadaran dan perbaikan atas kehidupan manusia yang sedang dicabut dan tercabut dari akar-akar kehidupan. Kehilangan pendidikan budaya, nilai-nilai luhur sebagai warisan luhur dari leluhur, kini manusia Papua secara umum dan khususnya manusia Mee sedang tercabut dari asal hidup. Garis keturunan, hubungan darah dan hubungan kekerabatan terputus-putus karena kebiasaan hidup modern yang lebih hedonis dan konsumeris.
Untuk mengembangkan pendidikan berpola tungku api, perlu dipikirkan, diadakan atau dibangun sarana-sarana memadai, misalnya: rumah adat emawa atau yamewa untuk laki-laki dan kugu untuk perempuan. Di setiap emawa juga kugu harus ada “tutor”: pendidik-pendidik yang mengajarkan kehidupan budaya. Selain emawa, setiap pribadi atau Kombas dan Gereja wajib memiliki Owadaa dan di setiap Owadaa wajib memiliki “tutor”, tua-tua adat yang tahu tentang kehidupan adat. Emawa juga kugu harus menjadi sebuah lembaga pendidikan (sekolah) pertama dan utama bagai anak-anak. Agar proses pendidikan (pembinaan) tetap lancer. Orangtua wajib memantau anak yang dilahirkan, harus pastikan setiap anak yang dilahirkan, setiap malam tidur di rumah. Hal ini penting karena di Meuwo secara khusus dan Papua pada umumnya, yang merusak tatanan budaya, iman dan moral Mee adalah mereka yang tidak tinggal bersama keluarga, atau hidupnya hanya kumpul kebo, secara tidak langsung dapat disebut sebagai Kelompok Kriminal Pengacau (KKB).
Setiap anak Mee harus (wajib) diajarkan pendidikan budaya, tentang Ooda-owaada, tentang hukum daa dan diyo dou, tentang relasi-relasi kekerabatan, tentang keturunan, tentang makan-minum, tentang perkawinan, tentang kehidupan, juga tentang kematian; dalam konteks kekristenan tentang iman yang benar kepada Tritunggal Mahakudus. Bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari kehidupan bersama sesama yang lain. Karena itu, keharmonisan relasi harus dijaga: baik relasi vertikal, maupun relasi horizontal. Setiap ciptaan adalah saudara karena sama-sama dirancang dan diciptakan oleh satu Pencipta. Bahwa menyakiti dan merusakkan ciptaan yang lain berarti menyakiti atau merusak diri sendiri, karena manusia adalah bagian dari alam, mikro dari makrokosmos yang ada.
Membangun dan mengembangkan pendidikan berpola tungku api tidak lain adalah menumnuhkan sebuah kebanggaan diri atas segala kepemilikan dan kepunyaan. Artinya, surga yang dimiliki tidak digadaikan hanya demi hal-hal yang fanah dan semu. Mempertahankan eksistensi diri mengandaikan penemuan essensi diri yang utuh, integral dan sempuna, yang pada gilirannya apa pun tantangan, kesulitan dan pencobaan tetap berdiri kokoh, bertahan bagi diri dan negeri warisan leluhur berdasarkan nasehat dan nilai-nilai warisan leluhur.
Ada banyak nilai-nilai warisan luhur dari leluhur kita yang makin hilang karena tidak mengetahui pola yang tepat. Hal ini disebabkan juga oleh pengaruh-pengaruh negatif yang lebih kuat. Banyak anak Mee yang lebih tertarik pada trend, model dan mode: lebih tepatnya ikut arus, karena memang akarnya tidak kuat. Hidup seperti sehelai daun di atas danau, hanya ikut arah angin. Dalam situasi ini, yang paling utama adalah kita melakukan “pertobataran kulural”. Budaya kita akan mengantarkan kita untuk menemukan keaslian, sesejatian, kemuliaan dan kekudusan kita, namun semuanya kita gadaikan hanya demi uang, kekayaan dan kesenangan semu.
Pendidikan itu harus ditempatkan di pusat kehidupan manusia. Dengan memperolah pendidikan layak, setiap manusia akan menemukan Allah yang sejati. Pendidikan yang layak selalu mengantarkan manusia bertemu dan bersatu dengan Allah yang menjadikan dirinya sebagai hamba-Nya yang merdeka. Melalui pendidikan yang sejati pula, suatu bangsa akan sampai pada bangsa yang kudus, bangsa yang beradab, bangsa yang bermoral dan berkemanusiaan.
Realitas pendidikan di Meuwodide secara khusus dan Papua pada umumnya saat ini sangat memprihatinkan. Semua stakeholder, pelaku pendidikan pun sedang bermain dengan pendidikan dan mempermainkan pendidikan. Padahal pendidikan adalah pondasi utama pembangunan bangsa. Kesejatian pendidikan hilang, karena pendidikan di Papua sudah tidak sejati, sudah dipolitisir juga dijadikan sebagai peluang (lahan/ladang) bisnis yang subur dan menjajikan. Memuliaakan Allah di bidang pendidikan “ternodai” dengan praktek-praktek curang yang makin membuat pendidikan menjadi tidak bernafas legah, bahkan mati.
Banyak sekolah-sekolah di Meuwodide yang berjalan di tempat dari waktu ke waktu. Banyak guru-guru yang tidak aktif mengajar: tugas di tempat lain, ambil gaji (honor) di tempat lain. Melakukan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) jika ada uang, jika tidak ada uang melontarkan aneka dalil untuk tidak mengajar. Belum lagi siswa-siswa yang pemalas belajar, banyak alpa di sekolah, tidak pernah membaca buku.
Pendidikan di Meuwodide sedang sakit, karena itu butuh penyembuhan, karena itu perlu juga “pertobatan pendidikan”. Untuk pertobatan atau pembaharuan pendidikan perlu memiliki kesadaran dan keprihatinan yang sama dari setiap pemangku kepentingan bahwa pendidikan itu penting. Sebab “dunia tanpa pendidikan adalah dunia mati, dunia gelap, dunia dungu dan dipermainkan seenaknya oleh orang-orang tidak bertanggung jawab untuk meloloskan kepentingannya.”
Demi Kemuliaan Allah: Ad Maiorem Dei Gloriam
Allah pada hakekatnya mulia karena itu pujian dan hormat bakti manusia tidak menambah kemuliaan-Nya. Walaupun demikian, batin manusia tidak dapat tahan untuk mengabdi dan memuliakan Allah sang Pencipta. Setiap perbuatan dan perkataan baik yang dilakukan manusia adalah bagian integral dari kehadiran manusia di hadapan Allah, dilakukan untuk dan demi kemuliaan Allah yang lebih besar.
Untuk memuliakan Allah dengan baik dan benar, secara layak dan pantas selain sikap tubuh, pemahaman atau pengetahuan iman sangat penting dan dibutuhkan. Untuk memperoleh pemahaman atau pengetahuan iman tidak lain hanya dengan membangun pendidikan yang berbobot. Kemuliaan Allah terlihat dalam terciptanya hidup manusia yang harmonis dan damai. Mendatangkan Kerajaan Allah butuh pendidikan karakter, yang berbobot dan berkualitas.
Kita sebagai orang Mee, kita dapat bertemu, membangun Kerajaan Allah di dunia dapat dimulai dari “tungku api: ageida uguda, owapa”. Pola pendidikan dan pembinaan di dalam ooda-owaada sangat penting. Kehangatan kehadiran kemuliaan Allah dapat dirasakan dan dialami dari kehidupan keluarga. Tugas kita adalah bagaimana keluarga-keluarga kita berkumpul setiap malam diri rumah, saling berbagi kisah dan cerita, terlebih saling mendidik untuk menjadi pribadi-pribadi yang berguna bagi Allah, manusia dan tanah.
Menjadi pribadi-pribadi yang berguna membutuhkan proses studi yang panjang, bahkan seumur hidup. Setiap rumah adalah sekolah kehidupan: berbicara tentang Tuhan, berbicara tentang manusia, berbicara tentang alam. Dari rumah kita mengenang masa lalu (sejarah), berkarya (hari ini) dan merangcang (masa depan). Dari rumah kita kita mencapai kemerdekaan sejati, karena kita telah dimerdekakan dan telah menjadi hamba Allah.
Mendapatkan pendidikan sejati, pendidikan yang mulia, pendidikan yang kudus, jika rumah kita menjadi sekolah kudus, sekolah sejati dan mulia. Berkeluarga (berumah tangga) butuh refleksi yang panjang dan dalam, karena dari sana akan terbentuk pribadi-pribadi sebagai tiang penyangga bangsa dan Gereja; bukan asal baku kawin dan berkeluarga.
Penulis adalah Dosen STK “Touye Paapaa” Deiyai, Keuskupan Timika