NABIRE, JELATANEWSPAPUA.COM — Pemuda Katolik Komda Papua angkat suara terkait kondisi jalan Trans Nabire–Ilaga yang hingga kini masih jauh dari kata layak. Jalur vital yang menjadi urat nadi transportasi masyarakat Meepago itu dinilai hanya mendapat penanganan sementara dan insidental tanpa solusi permanen.
Dalam keterangan pers yang diterima Jelatanewspapua.com pada Rabu (03/09), Pemuda Katolik menilai kerusakan jalan yang berulang kali terjadi adalah bukti nyata lemahnya penanganan di lapangan.
Mereka menyebut kepala balai jalan yang bertanggung jawab di wilayah tersebut tidak serius menjalankan tugasnya.
Kepala balai bahkan dinilai gagal menuntaskan persoalan di sepanjang jalur trans.
“Selama ini, perbaikan jalan di Nabire–Ilaga hanya tambal sulam. Tidak ada perbaikan permanen.
Ini membuktikan bahwa kepala balai tidak bertanggung jawab.
Karena itu kami mendesak tiga bupati, yakni Dogiyai, Deiyai, dan Paniai, segera bersurat ke Kementerian PUPR untuk meminta pergantian kepala balai,” tegas Pemuda Katolik dalam pernyataannya.
Menurut mereka, langkah bersurat ini penting agar pemerintah pusat mendengar langsung keluhan masyarakat di lapangan.
Sebab, jika hanya mengandalkan inisiatif balai, permasalahan jalan tidak akan pernah selesai.
“Kami ingin ada pejabat yang benar-benar serius, yang bisa bekerja dan memberikan pelayanan nyata kepada rakyat,” tambah mereka.
Desakan Pemuda Katolik bukan sekadar kritik, tetapi juga ajakan agar pemerintah daerah ikut bertanggung jawab atas kebutuhan dasar masyarakat.
Mereka menekankan bahwa urusan transportasi memang kewenangan pusat, tetapi pemerintah daerah tidak boleh hanya diam menunggu.
Selain persoalan jalan, Pemuda Katolik juga mengingatkan pentingnya memperhatikan aspek budaya lokal.
Mereka meminta pemerintah tidak menutup diri dengan ego sektoral.
Sebaliknya, pemerintah diminta membuka ruang dialog dengan masyarakat adat, termasuk masyarakat Siriwo yang wilayahnya dilintasi jalan Trans Nabire–Ilaga.
“Hal-hal budaya seperti ritual, kepemilikan wilayah adat, dan aspirasi masyarakat harus menjadi pertimbangan utama.
Tanpa pendekatan budaya, pekerjaan besar seperti jalan ini akan selalu menimbulkan persoalan di kemudian hari,” demikian pernyataan Pemuda Katolik.
Pemuda Katolik juga menyinggung persoalan tapal batas wilayah, terutama di Kilo 100.
Menurut mereka, dari sisi kedekatan budaya dan pelayanan, wilayah itu lebih dekat ke Kabupaten Dogiyai ketimbang Nabire.
Oleh karena itu, mereka mendesak agar tapal batas antara Nabire dan Dogiyai segera dievaluasi berdasarkan hukum adat dan kesepakatan bersama.
“Sejauh ini, pendekatan pemerintah Kabupaten Nabire kepada masyarakat di wilayah perbatasan belum terlihat harmonis.
Justru Bupati Dogiyai, Deiyai, dan Paniai yang hadir langsung untuk menunjukkan kepedulian.
Ini harus menjadi pengingat bagi pemerintah Nabire agar lebih aktif mengambil kebijakan strategis,” pungkas mereka.