INTAN JAYA, JELATANEWSPAPUA.COM — Ratusan Rakyat Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, yang tergabung dalam Forum Rakyat Bergerak dan Bersuara menggelar aksi damai untuk menolak kekerasan, menuntut keadilan dan pengusutan atas peristiwa berdarah di Kampung Soanggama, Distrik Hitadipa, Intan Jaya.
Aksi tersebut berlangsung pada Selasa (28/10) di Sugapa, ibu kota Kabupaten Intan Jaya. Dalam orasinya, massa menyerukan agar pemerintah Indonesia tidak menutup mata terhadap penderitaan rakyat sipil di Papua, khususnya di wilayah Intan Jaya yang selama beberapa tahun terakhir menjadi daerah dengan eskalasi konflik tinggi.
Mereka juga menuntut agar tragedi yang dikenal masyarakat sebagai “Kasus Soanggama Berdarah” diusut tuntas melalui mekanisme hukum yang transparan dan independen.

Dalam pernyataan tertulis yang diterima media ini, kelompok intelektual, pelajar, dan mahasiswa yang tergabung dalam Tim Lokal Peduli Kemanusiaan bagi Masyarakat Papua (Kabupaten Intan Jaya) menyatakan keprihatinan mendalam atas terus berulangnya kekerasan bersenjata di wilayah tersebut.
“Konflik di Intan Jaya bukan semata urusan keamanan, tetapi sudah menjadi upaya sistematis yang mengancam keberadaan masyarakat adat Moni, Dani, Dauwa, dan Wolani di tanah mereka sendiri,” tulis pernyataan itu.
Tim tersebut juga menilai operasi militer yang berlangsung selama beberapa tahun terakhir telah menghancurkan kehidupan sosial masyarakat adat, mengganggu kegiatan ekonomi warga, serta menutup masa depan generasi muda di wilayah itu.
Kronologi Tragedi Soanggama
Kesaksian warga menyebut, sehari sebelum peristiwa berdarah itu terjadi, sejumlah anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dilaporkan sempat bermalam di salah satu rumah warga karena hujan deras.
Keesokan harinya, Rabu (15/10), sekitar pukul 04.00 WIT, satuan gabungan Den 1 dan Den 4 Satgas Rajawali II, Yonif 500/S, serta Yonif 712/WT melakukan operasi penyisiran di Kampung Soanggama.
Sekitar pukul 05.00 WIT, warga dipaksa keluar dari rumah dan dikumpulkan di halaman Gereja Katolik Soanggama. Menurut laporan warga, mereka yang mengenakan atribut adat seperti bulu kasuari, rambut gimbal, atau noken kepala dipisahkan dan diinterogasi secara terpisah di luar gereja.
Beberapa orang yang dianggap mencurigakan dilaporkan langsung ditembak di sekitar gereja tanpa verifikasi apakah mereka anggota TPNPB atau warga sipil. Jenazah korban kemudian dikuburkan secara tidak layak di satu lubang kubur yang dangkal.
Dalam kepanikan, seorang ibu hamil bernama Winina Mirip yang hendak berkunjung ke Kampung Soanggama ikut menjadi korban. Ia mencoba melarikan diri ketika mendengar suara tembakan, namun terseret arus Sungai Weabu dan meninggal dunia.
Data sementara mencatat 16 orang meninggal dunia, di antaranya warga sipil: Yanuarius Mirip, Pisen Kogoya, Sepi Lawiya, Agus Kogoya, Impinus Tabuni, Agopani Holombau, Winina Mirip, Sakaria Kogoya, dan Kayus Lawiya. Empat korban lainnya belum teridentifikasi karena situasi keamanan yang belum memungkinkan proses evakuasi.
Rentetan Pelanggaran HAM di Intan Jaya
Tragedi Soanggama Berdarah bukan peristiwa tunggal. Wilayah Intan Jaya tercatat berulang kali menjadi lokasi pelanggaran hak asasi manusia sejak 2019.
Beberapa kasus yang sebelumnya terjadi di antaranya pembunuhan terhadap pendeta Yeremias Zanambani pada 19 September 2020, penembakan terhadap pewarta gereja Rupinus Tigau di Kampung Jalae, penembakan membabi buta terhadap warga sipil pada 2021, hingga tewasnya dua anak sekolah dasar dalam peristiwa di Yokatapa pada 2022.
Laporan lembaga swadaya masyarakat di Jakarta berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya” (2021) mengungkap, konflik di wilayah ini memiliki keterkaitan erat dengan kepentingan ekonomi, terutama proyek pertambangan emas Blok B Wabu.
Tim Lokal Peduli Kemanusiaan menilai, kebijakan keamanan di Intan Jaya cenderung mempertahankan status quo yang menguntungkan kepentingan korporasi, sementara masyarakat sipil menanggung dampak ketakutan, trauma, dan kehilangan hak hidup yang paling dasar.
Sepuluh Tuntutan untuk Negara
Dalam aksinya, Forum Rakyat Bergerak dan Bersuara membacakan sepuluh tuntutan resmi kepada pemerintah Indonesia sebagai berikut:
1. Mengusut tuntas kasus “Soanggama Berdarah” yang menewaskan 16 warga sipil.
2. Meminta Presiden Prabowo Subianto menarik seluruh pasukan non-organik dari Intan Jaya dan wilayah Papua lainnya.
3. Membentuk tim investigasi independen untuk menyelidiki kasus pembunuhan di Soanggama.
4. Menghentikan praktik militerisasi untuk kepentingan korporasi ekstraktif di Intan Jaya.
5. Mengecam kinerja Majelis Rakyat Papua (MRP) yang dinilai gagal melindungi masyarakat adat.
6. Menolak eksploitasi tambang yang berpotensi memperburuk penderitaan masyarakat.
7. Menetapkan pembunuhan warga sipil di Soanggama sebagai pelanggaran HAM berat dan menuntut pengadilan terbuka bagi pelaku.
8. Menetapkan 15 Oktober sebagai hari peringatan “Tragedi Soanggama Berdarah” agar tidak dilupakan generasi mendatang.
9. Menarik seluruh pos militer dari wilayah Intan Jaya yang menimbulkan trauma dan pengungsian massal.
10. Mendesak TNI dan TPNPB menghormati prinsip kemanusiaan dalam konflik bersenjata dan tidak menjadikan warga sipil sebagai korban.
Seruan Akhir untuk Keadilan
Aksi damai di Sugapa berlangsung tertib di bawah pengawasan aparat keamanan. Para peserta membawa spanduk dan poster bertuliskan “Hentikan Kekerasan di Intan Jaya” dan “Keadilan untuk Soanggama”.
Mereka berharap tragedi ini menjadi momentum bagi negara untuk meninjau kembali pendekatan keamanan di Papua dan membuka ruang dialog yang manusiawi.
“Kami ingin hidup damai di tanah kami sendiri. Jangan lagi ada darah yang tumpah di Soanggama atau di mana pun di Intan Jaya,” ujar seorang tokoh muda dalam aksi tersebut.