TIMIKA, JELATANEWSPAPUA.COM— Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) se-Tanah Papua menyerukan penghentian segera operasi militer dan pengiriman pasukan non-organik di berbagai wilayah Papua, serta mendesak evaluasi terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dinilai merampas tanah adat dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat setempat.
Dalam pernyataan yang dirilis yang di bacakan oleh Saul Wanimbo pada Jumat (07/11), SKP mengungkapkan bahwa kekerasan bersenjata dan militerisasi telah menimbulkan krisis kemanusiaan di sejumlah wilayah, termasuk Intan Jaya, Puncak, dan Pegunungan Bintang. Ribuan warga dilaporkan masih mengungsi tanpa jaminan akses terhadap pangan, layanan kesehatan, dan pendidikan.
“Negara mestinya hadir untuk menangani para pengungsi, bukan membiarkan masyarakat hidup dari solidaritas sesama warga,” ujar R.P. Aleksandro Rangga, Direktur JPIC OFM Papua.
Ia menambahkan bahwa hingga kini, fasilitas umum seperti gereja, sekolah, dan kantor distrik kerap digunakan sebagai pos militer, memicu ketakutan di tengah masyarakat.
Selain situasi konflik, SKP menyoroti proyek food estate dan bioenergi di Merauke seluas dua juta hektare yang dianggap mengancam tanah ulayat dan ekosistem rawa masyarakat Malind dan suku-suku lain.
“Pembukaan lahan dilakukan tanpa persetujuan masyarakat adat dan berpotensi memicu konflik horizontal,” kata Elias Gobai, Sekretaris Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura.
SKP juga menyinggung meningkatnya kriminalitas dan penyebaran HIV-AIDS yang dipicu konsumsi minuman beralkohol di Papua. Mereka menilai lemahnya penegakan hukum dan keterlibatan oknum aparat dalam peredaran minuman keras memperburuk situasi sosial.
“Pemerintah harus tegas memberantas miras dan melakukan edukasi menyeluruh kepada remaja,” ujar perwakilan SKP Papua Selatan.
Dalam seruannya, SKP menyampaikan delapan tuntutan, di antaranya: menghentikan operasi militer, menjamin perlindungan warga sipil, memulangkan pengungsi ke kampung halaman, menghentikan proyek strategis nasional yang melanggar hak adat, serta membuka dialog politik Jakarta–Papua melalui pihak mediator yang netral seperti forum internasional atau gereja.
“Dialog adalah jalan damai yang bermartabat. Papua butuh keadilan dan kemanusiaan, bukan senjata,” kata R.D. Lucas Legasando dari SKP Keuskupan Agats.