NABIRE, JELATANEWSPAPUA.COM – Sejumlah pelajar dan mahasiswa di Provinsi Papua Tengah menggelar aksi mimbar bebas di Kompleks Pasar Karang Tumaritis, Nabire, pada Kamis (11/09).
Aksi ini digelar untuk menyuarakan berbagai persoalan yang mereka nilai sebagai bentuk diskriminasi, perampasan ruang hidup, dan marjinalisasi terhadap orang asli Papua.
Koordinator aksi, Amsal You, membacakan pernyataan sikap berisi 19 tuntutan. Ia menyebutkan, bangsa Papua sejak awal telah dikorbankan dalam konspirasi politik internasional melalui New York Agreement pada 15 Agustus 1962 yang melibatkan Belanda, Indonesia, dan Amerika Serikat.
“Sejak tahun 1961 hingga saat ini bangsa Papua dikorbankan oleh konspirasi Amerika dan Indonesia melalui New York Agreement. Persetujuan itu memaksa Belanda melepaskan West Papua ke Indonesia karena misi terselubung eksploitasi sumber daya alam di Papua,” tegasnya dalam keterangan tertulis.
Soroti Sejarah Politik Papua
Mereka menilai New York Agreement dilakukan secara paksa tanpa mempertimbangkan hak-hak rakyat Papua yang kala itu masih berstatus wilayah koloni Belanda. Kesepakatan itu, menurut mereka, juga bertentangan dengan Piagam PBB yang menekankan hak menentukan nasib sendiri bagi wilayah jajahan.
“Bangsa Papua sudah disiapkan Belanda untuk menjadi sebuah negara yang sah berdasarkan Konvenan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sesuai dengan Piagam PBB Pasal 73, wilayah jajahan wajib diberi kemerdekaan. Hal ini juga ditegaskan dalam perjanjian internasional seperti Canberra Agreement tahun 1947 yang mendorong percepatan pembangunan wilayah Pasifik Selatan untuk menuju kemerdekaan,” lanjut pernyataan mereka.
Kritik Pemerintah Daerah dan Pusat
Selain menyinggung sejarah politik, massa aksi juga mengkritik kebijakan pemerintah pusat hingga pemerintah daerah yang dinilai hanya melayani kepentingan modal dan elite politik. Mereka mendesak Pemerintah Provinsi Papua Tengah dan delapan bupati di wilayah itu agar menghentikan segala bentuk investasi yang dianggap merugikan masyarakat Papua.
“Pemerintah jangan hanya membuka jalan bagi perusahaan dan pemodal, sementara masyarakat adat dan pelajar Papua dibiarkan hidup dalam penderitaan,” ujar Amsal.
19 Poin Tuntutan
Dalam aksi tersebut, pelajar dan mahasiswa Papua Tengah menyampaikan 19 tuntutan kepada negara, antara lain:
1. Hentikan investasi ilegal di Papua Tengah.
2. Bebaskan 4 tahanan politik di Sorong, karena ide atau gagasan tidak bisa dipidana.
3. Buka ruang demokrasi dan hentikan kriminalisasi aktivis mahasiswa dengan pasal karet.
4. Hentikan rencana pemekaran di Papua Tengah yang dianggap sarat kepentingan politik praktis.
5. Hentikan pembangunan PLTA dan perusahaan ilegal di Deiyai.
6. Hentikan aktivitas perusahaan ilegal di Blok Wabu, Intan Jaya.
7. TNI/Polri diminta tidak menjadikan sekolah, gereja, dan puskesmas sebagai pos militer di Intan Jaya dan Puncak.
8. Hentikan rencana pembangunan pelabuhan di Kapiraya.
9. Pemerintah Provinsi Papua Tengah segera memfasilitasi kembalinya pengungsi ke Intan Jaya.
10. Kapolres Nabire hentikan kriminalisasi masyarakat sipil.
11. Polisi minimal berpendidikan S1 agar tidak bertindak brutal di Papua Tengah.
12. Pemerintah Papua Tengah segera mencabut izin perusahaan ilegal.
13. Segera bangun pasar yang layak bagi mama-mama Papua.
14. Polres Nabire segera menindak kasus begal.
15. Hentikan kriminalisasi jurnalis di seluruh Tanah Papua.
16. Kementerian HAM segera menyelesaikan persoalan HAM di Papua.
17. Hentikan kapitalisasi di RSUD Nabire dan evaluasi Dinas Kesehatan Provinsi.
18. Tarik pasukan militer non-organik dari Papua.
19. Gelar perundingan damai untuk menyelesaikan masalah Papua secara bermartabat.
20. Belum Ada Tanggapan Pemerintah.
Aksi mimbar bebas ini berlangsung dengan pengawalan aparat keamanan. Hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Provinsi Papua Tengah maupun pihak kepolisian belum memberikan tanggapan resmi atas tuntutan yang disampaikan pelajar dan mahasiswa tersebut.