WAMENA, JELATANEWSPAPUA.COM – Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) merilis laporan kemanusiaan terkait operasi militer di Kampung Yigemili, Distrik Melagi, Kabupaten Lanny Jaya, Provinsi Papua Pegunungan, yang menyebabkan satu warga tewas, satu hilang, dan ribuan orang mengungsi sejak awal Oktober 2025.
Direktur Eksekutif YKKMP, Theo Hesegem, dalam konferensi pers di Wamena, Senin (10/11/2025), menyampaikan bahwa operasi militer TNI pada 5 Oktober 2025 berlangsung brutal dan menimbulkan korban jiwa serta kerusakan puluhan rumah warga.
Penyerangan Saat Warga Hendak Ibadah
Menurut laporan YKKMP, pada Minggu pagi sekitar pukul 06.00 WIT, dua helikopter TNI dari arah barat dan dua kompi pasukan darat dari arah utara menyerbu Kampung Yigemili secara bersamaan. Saat itu, warga sedang bersiap mengikuti kebaktian dan upacara Perjamuan Kudus di gereja.
“Helikopter terbang rendah dan menembaki area perkebunan serta rumah warga tanpa perlawanan dari pihak mana pun,” kata Hesegem.
Akibat penyerangan itu, warga panik dan melarikan diri ke arah gereja untuk berlindung.
Salah seorang warga, Wiringga Walia Wenda (23), yang diduga anggota kelompok TPNPB pimpinan Puron Wenda, ditembak saat berusaha melarikan diri ke hutan. Ia tewas tidak jauh dari rumahnya.
Sementara Yoban Kine Wenda (60), seorang warga sipil, dilaporkan hilang setelah diduga dibawa oleh anggota TNI menuju arah Tiom. Hingga kini, keberadaannya belum diketahui.
Ketika tim kemanusiaan mendatangi pos TNI untuk meminta keterangan, aparat menyatakan tidak mengetahui keberadaan Yoban dengan alasan bahwa pasukan operasi sebelumnya telah diganti.
Ratusan Rumah Rusak, Ribuan Mengungsi
Data YKKMP mencatat, 28 rumah warga rusak, termasuk 25 honai yang dirusak dan satu dibakar. Tiga rumah berat beratap seng juga dirusak oleh aparat.
Barang-barang warga seperti alat masak, pakaian, dan peralatan tidur dihamburkan dan dirusak. Bahkan hewan ternak dibiarkan lepas hingga memakan tanaman di kebun.
Sejak kejadian itu, sekitar 2.300 warga melarikan diri ke kampung terdekat. Hingga kini, mereka masih mengungsi tanpa bantuan cukup dari pemerintah.
Seorang pengungsi di Kampung Wuyukwi mengaku kehabisan bahan makanan.
“Kami hanya punya 5 kilo beras, itu pun tidak cukup. Kami ingin pulang, tapi tidak berani kalau tentara masih ada,” ungkap seorang warga kepada tim YKKMP pada 25 Oktober 2025.
Hesegem menambahkan, seluruh kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan lumpuh total sejak operasi militer tersebut. “Semua warga hidup dalam ketakutan dan trauma berat,” ujarnya.
Upaya Pencarian Korban dan Aksi Kemanusiaan
Tim YKKMP bersama warga telah tiga kali melakukan pencarian terhadap dua korban, namun belum menemukan jasad keduanya.
Pada 31 Oktober 2025, tim kemanusiaan turun langsung ke lokasi selama dua jam namun gagal menemukan jejak korban.
Selain pencarian, YKKMP bersama masyarakat Melagi juga melakukan pemasangan baliho berisi seruan perlindungan warga sipil berdasarkan Hukum Humaniter Internasional.
Kegiatan ini diawali dengan doa bersama yang dipimpin oleh Pdt. Berpus Tabuni, Ketua Wilayah Gereja Melagi. Tim juga memasang bendera kemanusiaan dan logo YKKMP di sekitar lokasi kejadian.
Rekomendasi YKKMP kepada Pemerintah Indonesia
Dalam konferensi persnya, YKKMP mengeluarkan lima rekomendasi utama kepada Pemerintah Kabupaten Lanny Jaya dan aparat keamanan:
1. Mendesak pengakuan dari aparat TNI non-organik yang terlibat dalam operasi militer di Yigemili atas keberadaan dua korban, Wiringga Walia Wenda dan Yoban Kine Wenda, yang hingga kini belum ditemukan.
2. Menjamin keamanan pengungsi dari intimidasi atau gangguan aparat ketika mereka kembali ke rumah.
3. Pemerintah Kabupaten Lanny Jaya agar segera menggelar pertemuan lintas lembaga (Forkopimda) untuk merencanakan pemulangan pengungsi.
4. Melakukan rekonsiliasi secara budaya sebelum pemulangan warga yang difasilitasi bersama YKKMP.
5. Melaksanakan rehabilitasi rumah dan pemulihan psikologis bagi warga terdampak.
Seruan Kemanusiaan
Theo Hesegem menegaskan bahwa kasus Yigemili adalah bukti nyata pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua.
“Kami meminta pemerintah dan aparat keamanan berhenti menjadikan warga sipil sebagai korban dalam operasi militer. Negara wajib hadir untuk melindungi, bukan menakuti,” ujarnya menutup konferensi pers.
Hesegem juga menyerukan agar semua pihak baik pemerintah pusat, daerah, maupun lembaga internasional memantau situasi kemanusiaan di Papua Pegunungan.
“Kami hanya ingin kebenaran dan keadilan ditegakkan bagi para korban,” tegasnya. (*)