WAMENA, JELATANEWSPAPUA.COM – Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menyoroti penembakan terhadap 12 warga sipil di Kampung Soanggama, Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah.
Peristiwa berdarah itu disebut terjadi pada 12 Oktober 2025, dan diduga dilakukan oleh aparat TNI dari Satgas Rajawali I, II, dan 0712 dalam operasi militer di wilayah tersebut.
Dalam surat terbuka bernomor A.0001/ST/YKKMP/JWY/PA-PEG/X/2025, Direktur Eksekutif YKKMP, Theo Hesegem, menyampaikan duka mendalam atas jatuhnya korban jiwa dan mengecam keras tindakan kekerasan yang terus berulang di Tanah Papua. Ia menyebut, Tanah yang penuh tangisan, darah, dan air mata ini telah lama menjadi saksi kekerasan negara yang sistematis, terstruktur, dan masif.
Menurut laporan lapangan yang diterima YKKMP, aparat TNI pada dini hari mendatangi rumah-rumah warga di Soanggama dan meminta warga menunjukkan identitas diri. Warga dengan marga tertentu, rambut panjang atau gimbal, serta pakaian yang dianggap menyerupai anggota TPNPB-OPM disebut langsung dieksekusi di depan masyarakat.
“Dalam insiden tersebut, 10 orang ditembak mati di tempat. Berdasarkan kesaksian warga, lima korban adalah warga sipil murni, sementara lima lainnya diduga simpatisan TPNPB-OPM namun dalam keadaan tanpa senjata,” tulis YKKMP dalam suratnya. Sementara itu, seorang ibu hamil dilaporkan tewas hanyut di sungai saat melarikan diri.
Jasad 11 korban disebut telah dikuburkan masyarakat di hadapan aparat TNI, delapan di satu lokasi, dua di tempat terpisah, dan satu ibu hamil di Dusun Wisiga. YKKMP menilai, pembunuhan tersebut dilakukan secara membabi buta dan tanpa perlawanan dari warga.
Theo Hesegem juga mengungkap bahwa situasi kemanusiaan di Intan Jaya dan sejumlah wilayah pegunungan Papua memburuk. Ribuan warga mengungsi tanpa layanan kesehatan, pendidikan, maupun bantuan logistik. YKKMP menilai kondisi ini sebagai konsekuensi dari operasi militer yang berkepanjangan sejak 2018 di berbagai kabupaten seperti Nduga, Yahukimo, Puncak Jaya, hingga Maybrat.
Selain menyoroti kasus Soanggama, YKKMP juga mencatat dugaan pelanggaran HAM berat di wilayah lain, seperti pembunuhan terhadap Abral Wandikbo di Nduga yang diculik, disiksa, dan dimutilasi, serta penembakan terhadap seorang anak bernama Eral Gwijangge yang menyebabkan kakinya patah dan harus berjalan berminggu-minggu menuju RSUD Wamena.
Dalam surat itu, YKKMP menegaskan empat rekomendasi penting untuk mengakhiri konflik dan mendorong akuntabilitas:
1. Mendesak pemerintah Indonesia membuka akses bagi wartawan dan jurnalis asing untuk meliput situasi HAM di Tanah Papua secara bebas dan utuh.
2. Meminta PBB membentuk tim investigasi independen melalui mekanisme prosedur khusus guna mengidentifikasi akar persoalan kekerasan di Papua.
3. Menyerukan agar Indonesia membuka diri terhadap kunjungan Dewan HAM PBB untuk meninjau langsung kondisi korban pelanggaran HAM.
4. Mendorong dialog damai antara pemerintah Indonesia dan ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) sebagai langkah politik menuju penyelesaian konflik secara bermartabat.
Theo Hesegem akhir suratnya dengan seruan moral kepada Presiden Prabowo Subianto agar menghentikan kekerasan melalui format perdamaian yang efektif demi menjaga keutuhan ciptaan Tuhan di Tanah Papua.
“Jika tidak ada upaya perdamaian melalui dialog atau penentuan nasib sendiri sesuai mekanisme internasional,” tulisnya.
“maka pemberontakan di berbagai lini bersenjata, sipil, hingga forum internasional akan terus terjadi,” tutupnya.