NABIRE, JELATANEWSPAPUA.COM –Pernyataan Gubernur Papua Tengah, Meki Nawipa, yang menyebut kondisi Papua Tengah “aman, damai, dan tenteram” menuai kritik keras dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wilayah Nabire. Mereka menilai pernyataan itu sebagai kebohongan publik yang tidak mencerminkan realita penderitaan rakyat di lapangan.
Meki Nawipa sebelumnya menyampaikan klaim tersebut saat membuka Sharing Session SindoNews Journalism di Nabire, Senin (25/08).
Baca Juga: Gubernur Papua Tengah Klaim Aman, Data Independen Sebut Ribuan Warga Masih Mengungsi
Dalam sambutannya, ia menegaskan situasi Papua Tengah terkendali dan masyarakat hidup dalam suasana kondusif. Namun, KNPB menolak klaim itu mentah-mentah.
“Apa ini damai? Tidak! Meki Nawipa keliru. Situasi Papua Tengah jauh dari kata aman. Rakyat di Intan Jaya dan Puncak masih mengungsi, kampung-kampung dikosongkan, dan operasi militer terus berjalan. Nawipa melihat Papua dengan kacamata Jakarta, bukan realita di lapangan. Pernyataannya adalah bentuk kebohongan publik,” tegas Ketua I KNPB Wilayah Nabire, Shon Adii, kepada wartawan, Rabu (27/8).
Baca Juga: Konfirmasi Pidato Gubernur, DPRK Puncak Pastikan Kawal Pemulangan Pengungsi
Data menunjukkan fakta berbeda dari klaim pemerintah. Human Rights Monitor (HRM) pada 13 Agustus 2025 melaporkan sedikitnya 12.859 orang masih mengungsi di Intan Jaya dan 2.724 orang di Kabupaten Puncak akibat operasi militer sejak 2021. Sementara itu, ACAPS pada 3 Juli 2025 mencatat jumlah pengungsi internal di Tanah Papua melonjak dari 86.886 orang pada Maret menjadi 97.650 orang pada Juni 2025.
“Ini angka resmi lembaga independen internasional. Jadi tidak mungkin disebut aman. Kalau memang damai, kenapa puluhan ribu orang Papua harus hidup sebagai pengungsi di tanah mereka sendiri?” tanya Shon.
Baca Juga: Sorong Memanas, Pemindahan Empat Tahanan Papua Picu Bentrokan
Ia menambahkan, dua distrik yakni Hitadipa (Intan Jaya) dan Sinak (Puncak) kini kosong penduduk. Warga meninggalkan kampung karena tidak tahan hidup dalam bayang-bayang operasi militer.
“Kampung-kampung sunyi. Itu fakta. Jadi, di mana letak damai yang dibicarakan gubernur?” ucapnya.
KNPB juga menyoroti maraknya militerisasi di Papua Tengah. Banyak kampung yang kini berada di bawah kontrol ketat aparat. Warga yang masih bertahan tidak hidup normal.
“Mereka tidak bebas bergerak. Beli beras, mencari hasil kebun, bahkan beribadah pun dalam tekanan aparat. Pendidikan anak-anak lumpuh. Ini bukan damai, ini penindasan,” lanjut Shon Adii.
Baca Juga: Pengurus Tani Merdeka Papua Tengah Siap Sukseskan RAPIMNAS Di Jakarta
Menurutnya, pejabat daerah seperti Meki Nawipa justru menutupi kejahatan negara dengan menjaga citra pemerintah pusat.
“Alih-alih membela rakyat, Nawipa justru ikut menutupi fakta pelanggaran HAM. Dia bicara seolah Papua Tengah baik-baik saja, padahal rakyat sedang menderita. Itu pengkhianatan terhadap rakyat Papua,” tegasnya.
KNPB menilai pernyataan Nawipa hanyalah strategi politik untuk mengaburkan situasi sebenarnya. Mereka menyebut pernyataan semacam ini berfungsi sebagai legitimasi bagi operasi militer agar terus berlangsung tanpa sorotan publik.
“Pernyataan pejabat yang menutup mata terhadap penderitaan rakyat adalah bentuk keberpihakan kepada sistem penindasan. Seharusnya gubernur berpihak pada rakyat, bukan pada kebijakan militer yang memaksa orang Papua hidup sebagai pengungsi di tanah leluhur,” ujarnya.
Baca Juga: Bupati Johannes Rettob Tunjuk Samuel Yogi Jadi Plt. Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Mimika
KNPB menegaskan bahwa jalan damai hanya bisa ditempuh dengan menghentikan operasi militer dan mengembalikan ribuan pengungsi ke kampung halaman.
“Hentikan militerisasi, pulangkan rakyat dengan jaminan keamanan, dan buka ruang dialog yang bermartabat. Itu baru damai. Kalau tidak, maka klaim pemerintah hanyalah kebohongan publik,” tutup Shon Adii.