Oleh: Marius Goo S.S., M.Fil
Pengantar
Alam ciptaan mengabdi kepada Pembuat atau Penciptanya. Pencipta memiliki hubungan dan keterikatan yang tak terpisahkan dengan segala yang diciptakan. Pencipta juga tidak pernah meninggal satu pun yang diciptakan: bahkan demi menjaga (merawat dan menuntun) semua yang diciptakan, Allah menciptakan. Segala keindahan dan keagungan sebagai gambaran Pencipta yang agung dan mulia. Pencipta senantiasa turut hadir dan tinggal dalam semua ciptaan-Nya dengan kuasa-Nya yang tak terselami. Kepada manusia diberikan kekuasaan lebih sebagai rekan dalam mengaja semua ciptaan-Nya, sehingga keindahan, keharmonisan dan kekeluargaan sesama ciptaan tetap terjaga dan tidak terputus atau hilang karena kesombongan manusia.
Relasi Antarciptaan
Dari semua yang diciptakan manusia menduduki posisi teratas, atau dibuatnya menjadi makluk paling mulia karena diciptakan tidak hanya dengan sabda (mulut) Allah seperti ciptaan lain, sebaliknya Allah mencitakan dengan tangan-Nya sendiri. Selanjutnya, Allah menghembuskan nafas-Nya ke dalam mulut manusia yang diciptakan-Nya, (Kej 2:7).
Kesadaran ini pada akhirnya memandang diri sebagai makhluk yang paling mulia dan bermartabat, manusia sering kali berindak sewenang-wenang terhadap alam dan ciptaan yang lain. Banyak manusia yang berpandangan bahwa alam semesta ada untuk manusia; bahwa tanah, air, udara, tumbuhan dan hewan yang ada di bumi, yang juda aga adalah adalah ciptaan Tuhan semata-mata untuk melayani kepentingan manusia.
Walaupun manusia diciptakan kodrat lebih tinggi, bahkan serupa atau segambar dengan Allah senciri, bukan berarti secara seenaknya atau sewenang-wenang merusak atau menghancurkan ciptaan yang lain. Kesempurnaan manusia terdapat dalam semua ciptaan yang lain, bahwa tanpa semua ciptaan yang lain, manusia bukanlah siapa-siapa.
Manusia memang makhluk yang mulia, namun bukan berarti untuk merusak bumi, dikeruk isinya dan sekaligus mengotori udara dengan asap pabrik dan kendaraan. Dikatakan manusia sebagai yang mulia adalah untuk menjaga keharmonisan, menjaga kelestarian dan keutuhan ciptaan Tuhan. Tugas manusia adalah menjadi rekan kerja Allah, yakni bersama Allah merawat bumi sebagai rumah bersama sebagaimana dikatakan Paus Fransiskus dalam Ensiklik “Laudato Si’ pada tahun 2015.
Dalam kisah pencitaan, sejak awal Tuhan menetapkan kekuasaan manusia atas segala binatang. Ia berfirman, “Penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikat di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej 1:28). Segala sesuatu memiliki manfaat dalam kehidupan ini dan bahkan mendukung kehidupan dan perkembangan manusia.
Segala sesuatu yang ada di bumi baik benda mati, maupun makluk hidup memiliki makna dan fungsi pada dirinya, juga sebagai pendukung atau sarana untuk memperlancar relasi-relasi kodrati maupun adikodrati. Bahwa manusia dapat hidup aman dan damai, hidup sempurna dan tak berkekurangan sedikit pun karena segala sesuatu disediakan oleh Allah. Pandangan manusia adalah pusat dari alam semesta, dalam relasi antroposentrisme yakni hubungan ciptaan dan Pencipta, sering tidak memberikan tempat bagi makluk lain (khususnya binatang), bahwa Tuhan berkarya demi kebaikan manusia, kasih dan keselamatan-Nya hanya tertuju kepada umat manusia, tidak kepada lembu, sampi, kambing, domba, ayam, dll.
Relasi Pencipta-ciptaan
Tuhan mengasihi setiap ciptaan sesuai kodratnya. Melalui kitab nabi Yunus, (Yun 4:11) dikatakan bahwa binatang berperan penting sebagai utusan Allah, juga sebagai komunitas yang memohoan pertolongan dari-Nya karena dirundung kesusahan. Ternak, binatang atau hewan turut memohon belas kasihan dan perlindungan dari Allah untuk dijauhkan dari kesusahan dan sekaligus memohon makan dan minum dikala lapar dan haus.
Kasih sayang Tuhan tercurah bagi segala makhluk. Tuhan mengasihi setiap orang, bahkan semua ciptaan merupakan gagasan yang tidak dapat dielakan. Mengajarkan tentang universalitas kasih Allah, termasuk Allah mengasihi makluk hidup lain, selain manusia merupakan kawajiban kaum beriman, karena Allah menciptakan segala sesuatu agar tidak dilepaskan satu pun dalam genggaman dan kekuasaan-Nya.
Dalam kitab Yunus tadi mengajarkan bahwa Allah mempertahatikan atau mengasihi binatang pula; karena itu Allah harus mengasihi tumbuhan yang pada akhirnya menjadi santapan (makan) dan minuman bagi makluk hidup. Jika Allah tidak memperhatiakan segala benda, manusia akan kebingungan untuk mengambil alat (sarana) untuk membuat rumah, kebun, dll. Allah mengatur semuanya secara sempurna dan baik adanya, sehingga pada akhirnya manusia memiliki arti dalam kehidupan. Allah mengasihi segala ciptaan bukan berarti tidak membunuh binatang, atau tidak mengambil tumbuhan yang ada; sebaliknya hewan maupun alam dapat dipergunakan, namun sejauh dibutuhkan.
Mencintai ciptaan Tuhan adalah mencintai Tuhan Pencipta sendiri. Keindahan alam selalu memberikan atau menampakan gambaran akan Allah Pencipta.; bahwa Allah Pencipta memiliki kekuasaan yang mengagumkan sekaligus menggugah hati manusia untuk tunduk dan memuji Allah sumber segala sesuatu yang diciptakan-Nya.
Dalam pandangan eko-teologis, Allah memperhatikan burung-burung di udara dan bunga bakung (Mat 6:25-34), mau mengatakan bahwa Allah tidak melupakan atau meninggalkan semua yang diciptakan-Nya. Perumpamaan-perumpamaan yang diambil Yesus tetang biji sesawi, pohon ara, benih gandum, ladang, domba, kambing, bukan hanya manusia, karena Allah tidak hanya memperhatikan manusia, namun sebaliknya ciptaan-Nya yang lain.
Yesus datang ke dunia untuk mendamaikan dunia dengan Allah. Dalam pandangan ini, manusia adalah bagian terkecil dari dunia, mikrokosmos dari makrokosmos, oleh karenanya manusia tidak dapat menganggap diri sebagai yang superior dan dapat memperlakukan alam seenaknya, sebab merusak alam adalah merusak dirinya sendiri. Yesus sendiri menjadi pusat dari alam. Ia menjadi Raja semesta alam (Why 19:16); Pilatus juga mengatakan dengan menuliskan Yesus Orang Zasaret, Raja Orang Yahudi (Iesus Nazarenus Rex Iudaeorum: INRI), (Yoh 19:19). Dengan kuasa keilahian, Allah menghubungkan kembali hubungan yang dirusakan oleh kelemahan manusiawi karena dosa dan dilayakan untuk menikmati hidup bersama Allah sebagai warga Kerajaan-Nya.
Penutup
Allah mencintai bukan saja manusia melainkan semua ciptaan lain sesuai kodratnya. Setiap ciptaan selalu mengharapkan, bahkan memohon kan belas kasihan dari Pencipta. Nasib hidup dan harapan setiap ciptaan, ada di tangan Pencipta. Bahwa segala sesuatu diciptakan bukan hanya untuk kebutuhan manusia, dan dipergunakan seenaknya, namun juga ada bagi dirinya untuk menunjukkan diri dalam seluruh kepenuhannya, terlebih untuk memuji Allah.
Allah menciptakan segala sesuatu baik adanya. Artinya, kebaikan yang diciptakan oleh Allah ini tidak bisa dirusakan oleh manusia demi keserakahan dan ketamakan. Manusia ditugaskan untuk merusak, melainkan memelihara; ikut serta bersama Allah dalam mencintai alam semesta. Semua makhluk dipelihara, dijaga, dilindungi dan diberi makan oleh Allah pada waktu-Nya. Dengan demikian, manusia tidak bisa secara semena-mena dan seenaknya merusak apa yang Allah ciptakan, bahkan hingga saat ini memperbaharuinya.
Penulis adalah Dosen STK “Touye Paapaa” Deiyai, Keuskupan Timika