Marius Goo S.S., M.Fil
Seperti lazim kita selalu mendengar bahwa antara tanah dan manusia Papua tidak terpisahkan, seperti mata koin bersebelahan. Pernyataan ini tepat dan kebenarannya tak terbantahkan. Sebab secara biblis disampaikan bahwa manusia berasal dari tanah, diciptakan dari tanah liat, (Kej 2:7) dan pada akhirnya manusia akan kembali ke rahim tanah.
Tanah Papua
Tanah merupakan kebutuhan paling utama dan mendasar bagi kehidupan, bukan hanya manusia namun mahkluk hidup yang lain juga. Segala makluk dapat tumbuh dari tanah dan karena tanah. Tanpa tanah tidak ada kehidupan. Karena itu, tanah dapat diyakini sebagai ibu kandung dari kehidupan itu sendiri. Dalam budaya Papua, hampir semua suku bangsa Papua mengatakan tanah adalah mama. Ketika tanah dikatakan mama, di sini terdapat hubungan kekeluargaan dan persaudaraan erat yang tak dapat dipisahkan dengan alasan apapun.
Pengrusakan terhadap tanah (alam) Papua dengan alasan apapun tidak dibenarkan. Merusak alam (tanah) Papua adalah merusak tubuh sendiri. Kebiasaan illegal loging (pencurian kayu), deforestasi (pengrusakan hutan), illegal fishing (pencurian ikan) dan pengambilan kandungan bumi Papua secara brutal membuat tubuh manusia menjadi gersang dan kering.
Tanah Papua dari Sorong sampai Merauke memiliki keragaman hayati dan nabati: memiliki gunung-gunung dan hutan yang lebat, juga pantai yang memiliki panorama alam yang di dalamnya terdapat aneka macam tumbuhan dan hewan, memiliki lembah-lembah, juga kali, sungai, danau dan laut yang luas. Segala sesuatu yang ada di Papua adalah miliki orang Papua dan tanggung jawab orang Papua untuk menjaga, menyelamatkan sekaligus mewariskan kepada generasi berikut. Merusak juga mengalihkan tanah Papua dan segala yang dimiliki kepada orang lain (pendatang) dan selanjutnya anak Papua generasi berikut hidup menderita, hidup tanpa tanah adalah tanggung jawab manusia Papua kini. Artinya, orang Papua lalu telah menjaga dan selanjutnya (memberikan) kepada kepada orang Papua sekarang, maka tugas orang Papua sekarang adalah melanjutkan kepada orang Papua yang berikut. Inilah yang dinamakan keadilan antargenerasi. Tanah Papua harus menjadi milik orang Papua sampai Tuhan datang, supaya orang Papua tidak jatuh miskin dan punah di tanah sendiri.
Manusia Papua
Manusia Papua sering kita sebut dengan Orang Asli Papua (OAP) adalah mereka yang bermarga Papua dan yang memiliki dusun. Kriteria utama OAP adalah bermarga Papua, karena budaya Papua lebih bersifat Patrilineal, mengikuti keturunan laki-laki. Karena itu OAP adalah mereka yang bapaknya Papua yang memiliki marga Papua dengan dusunnya. Mereka yang mamanya Papua, namun bapaknya bukan OAP tidak bisa dikatakan sebagai OAP, sebab mereka bagian dari suku lain di luar Papua.
Orang Asli Papua memiliki tugas dan tanggung jawab berat untuk menjaga atau mempertahankan tanah dan melanjutkan tanah kepada OAP yang berikut. Ciri khas OAP yang mempersatukan Papua adalah “rambut kriting” dan “hitam kulit”, juga satu pulau Papua yang berbentuk burung cendrawasih atau kangguru. OAP ini punya tugas untuk saling menjaga, saling menyelamatkan dan tidak saling menjual. Secara tidak langsung, menjual tanah, menjual kayu, laut, kali dan danau, emas dan tambang, dll., kepada investor (kapitalis, perusahaan) menjual orang asli Papua sendiri.
Hutan Papua yang sedang dihancurkan melalui anaka perusahaan di seluruh pelosok Papua, baik perusahan besar maupun yang kecil, baik perusahan milik Indonesia atau di luar Indonesia (asing) sedang merusak manusia Papua secara brutal.
Manusia Papua menjadi miskin di tanah sendiri karena segala kekayaan dirusakan seketika tanpa ampun dan secara brutal. Negara melalui sistim kapitalis melancarkan pengrusakan alam Papua. Negara memberikan izin kepada aneka perusahaan agar hutan Papua dibabat habis, segala kandungan bumi: emas, nikel, batu bara dan lain-lain dikeru. Saat ini tengah melakukan perampokkan besar-besaran terhadap alam Papua dan manusia Papua kini tinggal menganga dalam ketidakberdayaan dan keiklasan.
Manusia Papua menuai kemiskinan di depan mata. Padahal tanah Papua merupakan daerah Otonomi Khusus (Otsus), namun segalanya diatur oleh Negara. Misalnya, seperti disampaikan oleh gubernur Papua Tangah, Meki Nawipa saat demo 17 Juli 2025 di Nabire, bahwa melanjutkan atau menutup perusahaan Blok Wabu kuasa ada di pusat. Tidak sedikit perusahaan yang merusak bumi (surga) Papua dan manusia Papua menjadi tamu di tanah sendiri.
Manusia Papua sudah saatnya menjadi orang gila, yakni perjuangan harus melampaui batas-batas kemanusiaan. Cara-cara hidup dan perjuangan orang Papua yang biasa-biasa, setengah-setengah, asal-asal, yang penting jadi dan asal jadi bukan saatnya lagi. Cara hidup yang penuh santai dan cari gampang dan mudah tidak relevan menghadapi manufer dan monster pemusnah manusia dan tanah Papua. Untuk mencari cara dan bentuk mempertahankan eksistensi manusia Papua, harus lebih gigih dan lebih serius dalam melaksanakan segala sesuatu.
Kemiskinan manusia Papua bersifat internal, sekaligus eksternal. Orang Papua menjadi miskin di tanah sendiri karena kebiasaan hidup yang tidak teratur dan disiplin, namun juga dimiskinkan oleh sistem, struktur dan cara-cara yang menyingkirkan juga merusakan orang Papua. Tugas orang Papua adalah memperbaiki kebiasaan atau cara hidup lama yang tidak baik (hancur-hancuran), sambil menemukan cara atau kebiasaan tidak baik dari luar yang hendak memiskinkan (memearjinalkan) orang Papua lewat sistem kapitalisasi dan kolonialisasi di semua segi kehidupan dan menari cara-cara baru yang lebih terukur, terarah, terorganisir dan tersistem satu kesatuan sebagai OAP. Artinya, saatnya OAP kerja dan tidak menjual tanah, hutan dan laut Papua demi menyelamatkan yang tersisah. Diminta kepada pemerintah daerah, mulai dari Gubernur sampai tokoh-tokoh masyarakat Papua, stop menjadi Yudas di tanah Papua. Jangan mata uang, namun sebaliknya pikirkan keselamatan orang Papua dan tanah dari kemiskinan, keterbelakangan dan kerusakan.
Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Katolik “Touye Paapaa” Deiyai, Keuskupan Timika