KIWIROK, JELATANEWSPAPUA.COM —Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) mengumumkan Duka Nasional, setelah Brijend Lamek Tablo dan Tiga anggotanya Kodap XV Ngalum Kupel, gugur dalam serangan bom drone militer Indonesia di Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, empat hari lalu, pada Minggu pagi (19/10).
Serangan udara ini disebut sebagai salah satu pukulan paling besar terhadap kekuatan TPNPB di wilayah Pegunungan Bintang. Lamek Taplo, sosok yang dikenal sebagai panglima gerilya dan vokal menentang operasi militer TNI-Polri di Tanah Papua, gugur di wilayah yang selama ini menjadi basis perjuangan dan logistik perlawanan pasukannya.
Dalam pernyataan resmi, Juru Bicara Komando Nasional TPNPB Sebby Sambom membenarkan bahwa militer Indonesia melancarkan serangan udara sekitar pukul 06.00 Waktu Papua. Menurutnya, drone tempur menjatuhkan bom secara langsung ke markas Kodap XV di wilayah Kiwirok.
“Militer Indonesia menggunakan drone untuk menjatuhkan bom ke markas TPNPB di Kiwirok. Empat orang gugur, termasuk Panglima Brigjen Lamek Taplo,” tulis Sebby Sambom dalam siaran pers yang diterima redaksi.
TPNPB kemudian mengumumkan duka nasional atas gugurnya sang panglima bersama tiga pasukannya. Bendera setengah tiang dikibarkan di berbagai pos pertahanan TPNPB di seluruh Tanah Papua, termasuk wilayah Pegunungan Tengah, Intan Jaya, dan Paniai.
Komando Nasional TPNPB menyebut pengorbanan Brigjen Taplo sebagai “api baru perlawanan.” Dalam pernyataannya, mereka menegaskan bahwa gugurnya sang panglima tidak akan menghentikan perjuangan mereka untuk menuntut kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia.
“Gugurnya Brigjen Lamek Taplo tidak mematahkan semangat kami. Kami akan terus berjuang sampai bangsa Papua benar-benar merdeka,” tulis pernyataan tersebut.
TPNPB juga mengatakan serangan udara menggunakan drone sebagai bukti bahwa militer Indonesia sudah kewalahan menghadapi perang gerilya di wilayah pegunungan. Mereka menilai penggunaan pesawat tanpa awak dan helikopter tempur adalah tanda ketidakmampuan menghadapi pasukan darat TPNPB.
“Serangan udara adalah bukti kekalahan moral dan strategi militer Indonesia. Mereka tidak mampu melawan kami di medan hutan,” tegas pernyataan Komando Nasional TPNPB.
Evakuasi jenazah Brigjen Taplo dan tiga anggotanya dilakukan pada Minggu pagi di tengah kabut tebal dan medan yang berat.
Bagi rakyat dan pejuang Papua Barat, Lamek Alipky Taplo bukan sekadar seorang panglima. Ia dikenal sebagai simbol keberanian dan keteguhan hati, seorang pemimpin yang hidup dan berjuang bersama pasukannya di hutan-hutan Kiwirok.
Dalam salah satu pesannya sebelum gugur, Taplo pernah mengatakan, “Kami lahir di tanah ini, dan kami akan mati di tanah ini. Tidak ada kata mundur bagi pejuang Papua.” Kini, kata-kata itu menjadi nyata di tanah yang ia jaga sampai akhir hayatnya.
Gugurnya Brigjen Taplo menjadi titik balik dalam sejarah perlawanan di Pegunungan Bintang. Komando Nasional TPNPB menyebut akan melancarkan “gelombang perlawanan darat” sebagai balasan atas serangan udara yang menewaskan pemimpinnya.
Sementara itu, masyarakat sipil di wilayah Kiwirok kembali menjadi korban ketakutan dan pengungsian. Beberapa warga mengaku mendengar suara ledakan dan melihat asap membumbung dari arah gunung.
“Kami takut sekali. Banyak orang lari ke hutan setelah dengar bom jatuh,” ujar seorang warga Kiwirok melalui sambungan radio komunitas.
Konflik di Kiwirok sendiri telah berlangsung lebih dari tiga tahun terakhir, dengan eskalasi kekerasan yang meningkat sejak 2022. Daerah ini dianggap strategis karena berbatasan langsung dengan Papua Nugini dan menjadi jalur logistik penting bagi kelompok TPNPB di wilayah Pegunungan Bintang.
Kini, setelah gugurnya Brigjen Lamek Taplo, masa depan perlawanan di Kiwirok menjadi tanda tanya besar. Namun satu hal yang pasti, di lembah berkabut itu, nama Lamek Taplo telah diabadikan sebagai simbol keberanian dan martabat bagi mereka yang menyebut dirinya “anak gunung dan anak tanah.”