PANIAI, JELATANEWSPAPUA.COM – Theofilus Richard Yogi, seorang mahasiswa yang juga putra asli Kabupaten Paniai, menyampaikan kecaman keras terhadap pendropan militer yang dilakukan aparat TNI sejak 23 September 2025 di sejumlah wilayah Paniai. Ia menilai tindakan tersebut tidak manusiawi, inkonstitusional, dan telah menciptakan ketakutan massal di tengah masyarakat sipil.
Menurut Theofilus, kehadiran pasukan militer dalam jumlah besar di Distrik Paniai (Ibu Kota Kabupaten), Distrik Paniai Barat (Koramil Obano), dan Distrik Aradide (Koramil Komopa) dilakukan tanpa sepengetahuan serta tanpa persetujuan pemerintah daerah dan masyarakat setempat.
“Ini bukan pengamanan rakyat, tetapi penindasan atas nama keamanan. Masyarakat sipil Paniai bukan ancaman negara, melainkan korban dari politik kekuasaan yang menindas,” tegas Theofilus dalam pernyataannya yang diterima jelatanewspapua.com, Senin (06/10).
Ia menjelaskan bahwa sejak pendropan dilakukan, suasana di Paniai berubah mencekam. Ratusan aparat bersenjata berat ditempatkan di sekitar rumah warga, sekolah, dan gereja. Kondisi ini, kata dia, telah menimbulkan trauma luas di kalangan warga.
“Anak-anak menangis setiap kali melihat kendaraan militer lewat, ibu-ibu takut beraktivitas, dan para pemuda hidup dalam tekanan psikologis yang dalam. Ini membangkitkan kembali luka lama, seperti tragedi Paniai Berdarah 2014 dan perang Bunauwo pada 1977 yang belum pernah diselesaikan,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyebut pendoropan militer tanpa koordinasi dengan pemerintah daerah merupakan bentuk pelanggaran terhadap berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Pasal 28G UUD 1945 yang menjamin hak warga atas rasa aman dan perlindungan diri.
Dalam pernyataannya, Theofilus menyampaikan tujuh tuntutan utama, di antaranya:
1. Penarikan seluruh pasukan militer organik maupun non-organik dari wilayah Paniai.
2. Penghentian kebijakan militerisasi terhadap wilayah sipil.
3. Pembentukan tim investigasi independen nasional dan internasional untuk mengusut pelanggaran HAM di Paniai.
4. Pemulihan martabat rakyat Paniai melalui keadilan dan rehabilitasi psikologis.
5. Penolakan terhadap segala bentuk militerisme di tanah adat.
6. Seruan kepada pemerintah pusat, lembaga HAM, gereja, dan masyarakat luas untuk melihat Paniai “dengan hati, bukan dengan laras senjata.”
7. Desakan kepada Pemerintah Kabupaten Paniai dan DPRK untuk bersikap tegas dan meminta militer segera kembali ke barak.
“Selama peluru masih menggantikan kata, selama ketakutan masih menggantikan keadilan, maka Indonesia belum benar-benar merdeka di atas tanah Papua,” tutupnya. (*)