[Cerpen, PIGAI, honny – QC, 19062025]
Pagi itu, kabut belum juga naik dari lereng kali Wabu, dan di kampung kecil di Intan Jaya, Anton remaja 16 tahun, tengah menyiapkan sarapan untuk adik-adiknya. Ibu Yuli, mamanya, sibuk bakar petatas di dapur, sementara Tony, bapaknya, sedang memperbaiki atap rumah yang bocor semalam. Di sudut rumah, Andre dan Willy bermain kelereng, dan Anisa si bungsu berusia lima tahun sedang asyik bermain sendiri.
Mereka bukan keluarga kaya. Tapi mereka adalah keluarga yang punya cinta. Yang bangun tiap pagi dengan doa dan harapan sederhana: bisa hidup damai.
Namun di Papua, damai adalah kemewahan.
Sudah berbulan-bulan kampung mereka hidup dalam bayang-bayang tentara. Pesawat tanpa suara mondar-mandir di langit, menandai siapa yang boleh hidup dan siapa yang bisa dilenyapkan. Hari ini giliran siapa? Tak ada yang tahu.
Tiba-tiba, letusan terdengar dari arah perbukitan. Bapak Tony berdiri. “Itu dari dekat jembatan…”
Anton menoleh. “Biar saya cek, Pak.”
“Tidak, kau tetap di sini. Ini bukan urusan anak-anak,” kata Tony. Tapi Anton sudah melompat keluar rumah. Di Papua, anak-anak tumbuh cepat, tak sempat jadi bocah terlalu lama.
Anton tiba di tempat kejadian. Beberapa warga berdiri di balik semak, tubuh mereka gemetar. Di tanah, Pak Lukas, petani tua, tergeletak tak bernyawa. Peluru menembus dada kirinya. Tak ada senjata di dekatnya, hanya noken berisi ubi.
Dua tentara berdiri tak jauh. Salah satu tertawa, “Dia lari, kami pikir dia OPM.”
Warga tak bisa berbuat apa-apa. Siapa pun yang membela, akan jadi sasaran berikut. Anton berdiri diam, tapi dalam dadanya, amarah tumbuh seperti api. Ia menatap tubuh Pak Lukas lalu berlari pulang.
Di rumah, ia menghambur masuk. “Pak! Tentara tembak Pak Lukas! Dia tidak bawa apa-apa. Hanya noken dan ubi!”
Tony menghela napas berat. Ia tahu, suatu saat, giliran mereka akan datang. “Anakku… diamlah dulu. Kita tak bisa buat apa-apa.”
“Tapi kenapa, Pak?! Kenapa kita dibiarkan dibunuh? Kenapa orang Papua dianggap tak punya harga diri?”
Mama Yuli menggenggam tangan Anton. “Karena bagi mereka, kita ini sepele. Tapi bagi Tuhan, kita manusia. Kita berharga. Jangan biarkan kebencian jadi darahmu, Nak.”
Anton menangis. Tapi ia tak tahu, tangisan itu akan jadi yang terakhir sebelum semuanya berubah.
Tiga hari kemudian, tengah malam, bunyi ketukan keras mengguncang pintu.
“Buka pintu! Pemeriksaan!”
Tony membuka pintu dengan hati-hati. Lima tentara menyerbu masuk, senjata terangkat.
“Kami dapat informasi bahwa rumah ini menyimpan logistik pemberontak,” bentak seorang berpangkat.
“Kami hanya keluarga biasa. Tak tahu apa-apa soal itu,” kata Tony tenang.
Tapi tentara tetap menggeledah. Mereka membalik tempat tidur, membuka dapur, bahkan memukul Willy yang menangis karena ketakutan.
Saat Anton mencoba melindungi adiknya, salah satu tentara memukulnya dengan popor senjata. Darah mengalir dari keningnya.
“Tahan dia. Anak ini sering ke bukit. Jangan-jangan penghubung OPM.”
“Itu fitnah! Anak saya tidak bersalah!” jerit Ibu Yuli.
Tapi jeritan itu dibalas peluru.
DOR!
Peluru menembus perut Tony. Ia jatuh, darah mengalir deras. Mama Yuli memeluk suaminya yang sekarat, menjerit, meraung, tapi tentara hanya berkata, “Lawan berarti mati. Ini pelajaran.”
Mereka menyeret Anton keluar rumah.
Andre dan Willy memeluk Mama. Anisa menangis kencang, mengguncang tubuh Papa yang dingin.
Malam itu, keluarga Anton hancur.
Anton dibawa ke pos militer, diinterogasi tanpa alasan. Dipukul, dituduh, diteror. Tapi ia tetap bungkam. Ia hanya anak kampung yang ingin hidup damai. Tapi militer tak butuh jawaban. Mereka butuh kambing hitam untuk membenarkan kebrutalan mereka.
Tiga hari kemudian, mayat Anton ditemukan di sungai. Tubuhnya penuh luka. Lidahnya dipotong. Di tangannya tergenggam gitar kecil, mainan Andre yang sempat ia kantongi sebelum ditangkap.
Berita kematiannya tak masuk televisi nasional. Tak ada konferensi pers. Pemerintah pusat tetap diam, seolah hidup orang Papua bisa dibuang begitu saja.
Di kampung, Ibu Yuli duduk diam. Di hadapannya, dua makam baru: Tony dan Anton. Andre, Willy, dan Anisa duduk di sisinya, memeluk lutut mereka, membisu.
“Mereka bukan binatang…” bisik Yuli, suara nyaris tak terdengar. “Mereka bukan binatang… mereka anakku… suamiku…”
Air matanya mengalir, tapi tangisnya tak keras. Ia telah kehilangan terlalu banyak. Bahkan air mata kini menjadi kemewahan yang sulit dikeluarkan.
Beberapa minggu kemudian, seorang pendeta datang dari kota. Ia membawa rekaman suara Anton yang berhasil diselamatkan dari ponsel milik anak muda yang sempat bersembunyi di hutan.
Dalam rekaman itu, suara Anton terdengar pelan tapi jelas:
“…Jika aku mati, jangan kubur aku di tanah yang diam. Kuburlah aku di bukit, tempat aku bisa melihat kampungku setiap pagi. Orang Papua bukan binatang. Kami manusia. Kami lahir untuk hidup damai. Tapi kalau damai terus dibunuh, aku rela mati sebagai bukti bahwa kami pernah berjuang untuk tetap hidup.”
Rekaman itu beredar diam-diam. Dari kampung ke kampung. Dari tangan ke tangan. Suara Anton jadi nyala kecil di tengah kegelapan. Ia tak sempat jadi orang dewasa. Tapi kata-katanya menyala lebih tajam dari peluru.
Dan di atas bukit Wabu, satu batu besar berdiri.
Terukir di atasnya:
“Di sini tertidur Anton, putra Papua.
Dibunuh karena ia memilih hidup.
Tapi dalam diam, suaranya tetap berdiri.”
CATATAN AKHIR
Cerpen ini merupakan karya fiksi berdasarkan kenyataan tragis yang terjadi di Intan Jaya dan wilayah-wilayah konflik lainnya di Papua. Banyak rakyat sipil, terutama Orang Asli Papua, menjadi korban pelanggaran HAM. Cerita ini adalah suara kecil untuk mereka yang tak bisa bersuara, dan jeritan sunyi dari tanah yang telah terlalu lama berdarah.