Karya: Gusanncladote
Di bawah langit Dogiyai yang biasanya teduh, suara motor meraung memecah ketenangan hari Senin itu. Jalan yang ramai dengan warga mendadak menjadi panggung kekacauan kecil, ketika dua aparat keamanan melaju dengan kecepatan tinggi tanpa peduli pada tatapan heran masyarakat. Seolah jalan itu adalah milik mereka semata, tanpa melihat bahwa di sana ada kehidupan yang sedang berdenyut tenang.
Angin yang berembus dari arah Kamu Selatan membawa rasa tak nyaman ke wajah-wajah muda di sekitar jalan itu. Mereka, para pemuda Dogiyai, menatap dengan gusar, karena di tanah mereka, kehormatan dan ketertiban adalah hal yang dijaga seperti menjaga nyala api di tungku rumah. Ketika kesabaran mereka pecah, teguran pun meluncur dengan nada marah, bukan untuk melawan, tapi untuk mengingatkan agar ada rasa hormat yang sama di antara sesama manusia.
Namun dunia seolah menutup telinganya. Ketegangan merebak, seperti bara kecil yang disiram bensin. Dua aparat itu turun dari motor, dan dalam hitungan detik, tatapan menjadi tajam, langkah menjadi tegang, dan suara menjadi tinggi. Pemuda mencoba menahan, aparat mencoba menantang. Parang yang tergenggam seakan menjadi simbol kemarahan yang tak lagi bisa ditahan oleh kata.
Langit Dogiyai siang itu ikut murung. Udara tiba-tiba berat, waktu berjalan lambat. Saat amarah bertemu ketakutan, letusan senjata terdengar, seperti petir di siang bolong. Tubuh-tubuh roboh, jeritan menggema, dan debu beterbangan di atas tanah yang baru saja dicuci hujan.
Yustinus Iyai, lelaki paruh baya, tiba-tiba bersimbah darah di betisnya. Ia terjatuh sambil menatap ke langit, seolah bertanya kepada Tuhan: mengapa di tanah damai ini, peluru kembali berbicara?
Oya Waine, pemuda berusia dua puluh dua tahun yang selalu tersenyum di pasar Moanemani, kini terbaring lemah. Bahunya berdarah, dan napasnya berat. Ia menatap temannya yang berusaha menolong dengan tangan gemetar.
Deserius Kotouki pun menjadi korban. Peluru menembus kaki kanannya. Ia meraung menahan sakit, sementara warga berlari ke segala arah. Tanah Dogiyai yang biasanya hangat kini dingin oleh ketakutan.
Mereka bertiga segera digotong, dengan tangan-tangan gemetar yang penuh kasih. Mobil bak terbuka menjadi ambulans darurat, melaju menembus jalan berbatu menuju Rumah Sakit Pratama Dogiyai di Odekomo. Di sepanjang jalan, doa dan isak tangis mengiringi laju kendaraan itu.
Rumah sakit itu berjuang sebisanya. Lampu di ruang gawat darurat berkelip-kelip, dokter dan perawat bekerja dengan peralatan yang terbatas. Luka mereka terlalu dalam untuk ditangani di sana, dan keputusan harus dibuat cepat, mereka harus dirujuk ke Rumah Sakit Paniai.
Sekitar pukul tiga dini hari, mobil kembali melaju menembus kabut menuju RSUD Paniai di Madi. Di dalamnya, tubuh-tubuh lemah berbaring di antara doa-doa lirih. Jalan itu panjang dan sunyi, seolah bumi Papua ikut berkabung dalam diam.
Setiba di rumah sakit, waktu seperti berhenti. Dua korban, Yustinus dan Oya, dibawa ke ruang operasi. Pisau bedah bekerja dalam senyap, dan peluru yang bersarang di tubuh mereka akhirnya berhasil dikeluarkan. Setetes demi setetes darah menandai perjuangan untuk tetap hidup.
Sementara itu, malam di Dogiyai tak benar-benar tidur. Api kemarahan warga masih menyala pelan di hati mereka. Ketegangan belum surut ketika pukul sembilan malam, suara tembakan kembali mengguncang langit Tokapo, di Kampung Mauwa, Dogiyai, Papua Tengah.
Keni Dumupa, pemuda dua puluh satu tahun yang dikenal ramah, terjatuh di tanah yang ia cintai. Peluru menembus dada kanannya, dan napas terakhirnya melayang bersama desiran angin Kamu.
Kampung Mauwa menjadi lautan tangis. Ibu Keni memeluk tubuh anaknya yang dingin, sementara bapaknya berdiri kaku, menatap kosong ke arah aparat yang sudah pergi. Lampu-lampu rumah bergetar tertiup angin malam, seolah ikut menangis bersama keluarga itu.
Jenazah Keni dibawa pulang ke rumah duka. Orang kampung berkumpul, menyanyikan lagu-lagu duka dalam bahasa Mee yang lembut. Malam itu, langit Dogiyai benar-benar gelap, tanpa satu pun bintang yang berani muncul.
Di tengah suasana berduka, suara doa terdengar pelan. Keluarga menyiapkan pemakaman yang akan dilakukan keesokan harinya. Setiap lilin yang menyala di sekitar jenazah seolah berbicara: “Keadilan, jangan lagi datang terlambat.”
Di rumah sakit Paniai, dua korban yang selamat perlahan sadar. Wajah mereka pucat, tapi mata mereka masih menyala. Mereka bercerita lirih kepada keluarga tentang detik-detik penembakan itu, tentang ketakutan yang tiba-tiba, dan tentang teman mereka yang tak sempat diselamatkan.
Oya Waine berkata dengan suara gemetar, “ Sa hanya mau hidup tenang di tanah sendiri, tapi kenapa peluru datang lagi?” Kalimat itu menggema di ruang perawatan, membuat malam terasa panjang.
Kabar penembakan menyebar cepat ke seluruh Dogiyai. Dari gereja ke pasar, dari rumah ke rumah, orang-orang berbicara dengan nada getir. Mereka bertanya, sampai kapan tanah ini harus dibasahi darah anak-anaknya sendiri.
Pagi hari di Mauwa terasa berat. Udara dingin membawa aroma tanah basah dan kesedihan. Warga berdatangan membawa bunga. Mereka berdiri berbaris mengiringi jenazah Keni menuju peristirahatan terakhir.
Tanah digali dengan tangan-tangan penuh air mata. Ketika peti diturunkan, semua suara hilang. Hanya angin yang berdesir pelan di antara pepohonan yang tumbuh sepanjang perbukitan itu, seolah berbisik, “Tidurlah dengan tenang, anak Mauwa, Kamu, Dogiyai, Papua Tengah.”
Setelah pemakaman, keluarga duduk di halaman rumah, menatap kosong ke arah jalan tempat peristiwa itu bermula. Mereka berharap keadilan tidak menjadi kabar yang hanya lewat di udara, tapi hadir nyata di tengah mereka.
Sore harinya, aparat keamanan mengumumkan bahwa situasi telah kondusif. Namun di hati warga, luka belum sembuh. Mereka masih mendengar gema tembakan itu dalam mimpi, masih melihat darah di tanah yang belum sempat kering.
Dogiyai kembali tenang, tapi ketenangan itu rapuh. Seperti kaca yang retak tapi belum pecah, ia menunggu sentuhan lembut dari keadilan agar tak hancur lagi.
Keluarga korban, dengan suara yang lemah tapi tegas, menyerukan agar pelaku diusut dan dihukum. Mereka tak ingin balas dendam, hanya ingin kebenaran berdiri di tengah mereka seperti matahari yang adil bagi semua.
Di antara suara doa dan tangis, masyarakat berjanji akan menjaga kedamaian. Mereka tahu bahwa darah yang tertumpah tak boleh dibalas dengan darah, melainkan dengan keberanian untuk mencari kebenaran.
Langit Dogiyai sore itu perlahan memudar. Di antara kabut yang turun, terdengar suara burung-burung yang kembali ke sarang. Di hati orang-orang Mauwa, ada harapan kecil yang tetap hidup, bahwa suatu hari nanti, peluru akan berhenti berbicara, dan manusia akan saling menatap tanpa rasa takut.
Dan malam pun tiba. Di balik keheningan, tanah Dogiyai berdoa sendiri, untuk keadilan, untuk kedamaian, dan untuk mereka yang sudah pergi terlalu cepat.