Karya: Gusanncladote
Di tanah Nabire, Papua Tengah yang subur dan bersinar lembut di bawah mentari timur yang selalu bersinar terang, Anita dan Akulian hidup dalam damai. Mereka menatap dunia dengan mata yang jernih, menimbang setiap gerak manusia di sekelilingnya. Namun belakangan, kedamaian itu mulai keruh oleh tingkah segelintir manusia yang melupakan asal-muasal.
Di Kafe kopi yang ramai setiap sore yang sering di kunjungi anak mudah Papua Tengah, Anita sering mendengar bisik-bisik tentang para elit kolaborator yang berlari mengejar cuan. Mereka seperti bayang-bayang yang kehilangan tubuh, jiwa serta idealismenya, hanya mengincar cahaya emas yang tak abadi, yang kemudian akan lenyap dengan waktu yang berlalu. Dan tinggal puing-puing kenangan yang tercampur egoismenya.
Akulian pun sering tertawa getir mendengar cerita itu, sambil mengaduk kopi Arabika yang sering di bawah dari tiga Kabupaten Paniai, Dogiyai dan Deiyai, selain dari luar tiga kabupaten ini yang perlahan mendingin.
“Manusia itu lucu,” kata Akulian suatu sore, “mereka rela menjual lidahnya untuk menutup dosa big bosnya. Memang itu tugasnya” Anita hanya tersenyum kecil, matanya tajam memandang ke arah jalan yang ramai kendaraan. Ia tahu, di balik gedung megah dan rapat tertutup, sedang berlangsung sandiwara tanpa penonton jujur, yang di perankan oleh big bos dan elit kolaboratornya.
Di antara para pemburu uang itu, mereka menyebut dirinya “pelayan rakyat”. Namun tangan-tangan mereka lebih sibuk menghitung laba daripada memegang hati nurani yang menjadi instrument asli. Mereka menjilat ke atas dan menendang ke bawah, seperti hukum yang berlaku di negara ini.
Anita pernah berkata lirih, “mereka bukan pemimpin, mereka penjaga pintu yang dijual kuncinya.” Akulian mengangguk, menatap jauh ke cakrawala Nabire, Papua Tengah yang mulai merah jingga, melepas waktu yang kemudian akan berjalan terus. Dalam dada mereka, lahir rasa kasihan bercampur tawa getir yang tak bisa dipadamkan.
Hari-hari berlalu, dan semakin banyak orang yang meniru jejak si bojuis kecil itu. Mereka menebar janji seperti menabur garam di laut, hilang tanpa bekas, dan seperti embun pagi yang akan jatuh dari dedaunan. Nabire pun menjadi panggung besar, tempat manusia berlomba-lomba menutup aibnya dengan senyum manis. Senyum menutup Kebajikan yang seharusnya dijalankan.
Di pasar, di kantor, di kafe, semua orang sibuk menilai siapa yang paling dekat dengan “big bos”. Mereka lupa bahwa tanah yang mereka injak punya nyawa, air yang mereka minum punya doa, yang menjawab dahaga setiap insan. Dunia seolah berputar hanya di sekitar kepentingan pribadi.
Anita dan Akulian menonton semua itu seperti menonton drama film yang membosankan dan tidak diberikan ajungan jempol. Mereka tahu, di balik tawa palsu itu, ada tangisan panjang yang disembunyikan di balik laporan keuangan. “Lucu ya,” kata Anita, “orang-orang bisa kenyang dengan pujian, tapi lapar dengan kebenaran.” Lanjutnya “ Padahal kebenaran Adalah Tuhan itu sendiri”jelas Akulian.
Akulian menimpali, “itu bukan lapar, itu candu.” Ia menatap ke langit yang senja memberikan warna tersendiri menghiasi angsa raya yang dimaingkan oleh kaum elit kolaborator, membiarkan angin sore menyapu rambutnya. Dalam hati, ia tahu segala yang berlebihan akan dikembalikan oleh waktu, dengan cara yang pelan tapi pasti.
Suatu malam, mereka berdua berjalan di tepi Teluk Cenderawasih. Ombak memantulkan cahaya bulan seperti kaca retak. Anita berujar, “mereka pikir uang bisa membeli tenang, padahal hanya menambah gelisah.”
Akulian menatap laut, suaranya berat, “mereka seperti ikan yang tersangkut umpan sendiri.” Di wajahnya tergambar getir yang halus, seperti debu yang menempel di kaca bersih. Mereka tertawa kecil, bukan karena lucu, tapi karena lelah melihat kebodohan yang dirayakan di panggung sandiwara itu, meski mereka yang menonton sedang kepepet kebuhan sandang dan pangan.
Setiap hari, kabar baru muncul: proyek fiktif, laporan palsu, upacara syukur yang berlebih. Semua berlomba menampilkan kesalehan di atas panggung yang rapuh. Dunia tampak megah, tapi aroma busuknya sudah sampai ke jalan kampung, hingga pelosok daerah terisolirpun menjadi gosip masyarakat.
Anita mulai menulis catatan kecil di buku harian: “Inilah zaman ketika manusia berpura-pura jujur agar terlihat mulia.” Ia tahu tulisannya tak akan dibaca siapa pun, tapi hatinya lega menulisnya. Akulian menyebut catatan itu “doa dalam bentuk sindiran.”
Suatu ketika, mereka menghadiri pesta besar yang digelar oleh kaum borjuis. Musik berdentum, makanan melimpah, dan kata “terima kasih” bertebaran di udara. Namun di balik semua itu, Anita melihat mata-mata kosong yang tak tahu apa arti bersyukur.
“Lihat,” bisik Akulian, “mereka sedang menari di atas luka yang belum kering.” Anita menunduk, menghela napas panjang. Dunia memang pandai menyembunyikan kejahatan di balik tawa pesta.
Waktu berlalu, dan beberapa dari mereka mulai jatuh satu per satu. Ada yang ditinggalkan, ada yang terseret oleh keserakahannya sendiri. Namun di lidah orang-orang, nama mereka tetap disebut dengan hormat, seolah dosa bisa dipoles menjadi kebajikan.
Anita tak lagi terkejut, hanya tersenyum setiap kali melihat berita baru. “Itu karma bekerja, pelan tapi pasti,” katanya ringan. Akulian menambahkan, “tanah ini tahu siapa yang mencintainya dan siapa yang menindasnya.”
Mereka terus hidup sederhana, menanam sayur di halaman kecil rumah mereka. Tak banyak bicara, tapi mata mereka menatap dunia dengan paham. Nabire bagi mereka bukan sekadar tempat tinggal, tapi saksi yang akan menulis sejarah dengan caranya sendiri.
Ketika malam tiba, mereka menatap langit dan berbicara pelan. “Yang abadi bukan harta, tapi nama baik,” ucap Anita. Akulian tersenyum, “dan kejujuran yang tidak dijual di pasar proyek.”
Tanah Nabire, Papua Tengah bernafas bersama angin dan waktu. Ia menelan segala dusta, dan perlahan mengembalikan kebenaran di saat yang tepat. Manusia boleh menipu sesamanya, tapi tidak bumi yang mereka pijak.
Suatu pagi, seekor burung hinggap di jendela mereka, bernyanyi pelan. Anita tersenyum, “burung pun tahu kapan harus pulang.” Akulian menjawab, “tapi manusia lupa arah karena sibuk mengejar emas.”
Dalam keheningan yang panjang, mereka berdua mengerti satu hal. Bahwa keserakahan hanya memberi kenyang sesaat, tapi meninggalkan lapar berkepanjangan di hati. Dan dunia yang jujur akan tetap menertawakan yang palsu.
Hari itu mereka berjalan di pasar Karang, Nabire, melihat orang-orang berteriak menawarkan harga. Anita berbisik, “di sini semua dijual, kecuali kejujuran.” Akulian tertawa pelan, “mungkin karena stoknya sudah habis.”
Senja kembali jatuh di Nabire. Langit berwarna tembaga, dan angin membawa aroma tanah basah. Anita menutup bukunya, menatap ke langit dengan senyum halus, seolah tahu bahwa semua sandiwara itu akan berakhir juga.
Sebab tak ada kekuasaan yang kekal, dan tak ada uang yang sanggup menenangkan hati yang haus. Bojuis boleh berlari, kolaborator boleh menjerit, tapi waktu akan menulis segalanya dengan tinta keadilan.
Dan di antara semua itu, Anita dan Akulian tetap berjalan pelan, menggandeng tangan, menuju rumah mereka di tepi Pantai Nabire. Mereka tahu, hidup yang sederhana lebih indah daripada kekuasaan yang menipu. Dunia boleh berisik, tapi hati yang tenang tetap menang.