MAKASSAR, JELATANEWSPAPUA.COM – Ikatan Pelajar Mahasiswa Moni Intan Jaya (IPMMI) Kota Studi Makassar menyatakan sikap tegas menolak eksploitasi tambang emas Blok Wabu di Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah. Pernyataan itu dibacakan dalam pertemuan terbuka di Makassar sebagai bentuk dukungan terhadap Tim Advokasi Tolak Eksploitasi Blok Wabu yang sedang beraudiensi dengan Kementerian ESDM dan DPD RI di Jakarta.
Dalam pernyataannya, IPMMI menegaskan bahwa Blok Wabu adalah sumber kehidupan masyarakat Intan Jaya yang tidak hanya bernilai ekonomi, tetapi juga memiliki makna ekologis, sosial, dan budaya bagi masyarakat adat di wilayah tersebut.
“Blok Wabu bukan hanya tambang emas. Di sana ada sumber pangan, obat-obatan, pengetahuan, bahasa, hukum adat, dan kehidupan yang diwariskan nenek moyang kami,” tegas salah satu perwakilan IPMMI dalam keterangan persnya, Jumat (03/10).
Blok Wabu: Sumber Kehidupan, Bukan Komoditas Tambang
IPMMI menjelaskan bahwa wilayah Blok Wabu selama ini menjadi ruang hidup masyarakat adat Moni di Intan Jaya. Di dalamnya terdapat sumber protein, karbohidrat, vitamin, serta tanaman obat-obatan yang menopang kesehatan masyarakat setempat.
Selain itu, hutan Wabu juga menjadi sumber pengetahuan lokal seperti seni menari, kerajinan tangan, teknik berburu, serta produksi alat-alat pertanian tradisional. “Jika Blok Wabu diganggu, maka generasi penerus kami terancam kehilangan identitas dan sumber kehidupannya,” ujar IPMMI dalam pernyataan tertulisnya.
Mahasiswa juga mengingatkan bahwa aktivitas pertambangan berskala besar seperti yang direncanakan di Blok Wabu berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis dan sosial yang tidak dapat diganti dengan uang kompensasi. Mereka menyinggung pengalaman serupa dari aktivitas PT Freeport Indonesia di Mimika yang mengakibatkan deforestasi, pencemaran sungai, dan pengusiran hewan liar sejak era 1990-an.
“Tambang selalu datang dengan janji kesejahteraan, tapi meninggalkan penderitaan,” ungkap IPMMI kota studi Makassar pernyataan itu.
Dampak Ekologis: Dari Intan Jaya ke Dunia
Dalam dokumen sikapnya, IPMMI juga menyoroti posisi strategis Blok Wabu sebagai salah satu paru-paru dunia setelah Hutan Amazon. Wilayah ini disebut sebagai “jantung bumi Papua” karena menjadi sumber mata air yang mengalir hingga ke berbagai kabupaten di Papua Tengah.
“Kerusakan Blok Wabu bukan hanya ancaman bagi orang Papua, tapi juga bagi umat manusia di planet ini,” tulis mereka. “Jika Blok Wabu hancur, dunia kehilangan salah satu cadangan oksigen terbesar setelah Amazon.”
Dengan demikian, IPMMI menilai bahwa eksploitasi tambang emas di Blok Wabu tidak hanya merusak lingkungan lokal, tetapi juga memiliki dampak global terhadap iklim dan kehidupan manusia.
Eksploitasi Alam dan Eksploitasi Manusia
Mahasiswa menegaskan bahwa eksploitasi alam Papua tidak bisa dipisahkan dari eksploitasi terhadap manusia Papua. Menurut mereka, wacana tambang di Blok Wabu sejatinya adalah bentuk perampasan tanah adat dan pengusiran paksa pemilik hak ulayat.
“Pengambilan paksa ini akan menimbulkan konflik berdarah antara rakyat dan aparat, seperti yang terjadi sebelumnya di banyak wilayah Papua,” tegas IPMMI.
Mereka mengingatkan bahwa setiap bentuk pembangunan harus mengedepankan kepentingan rakyat, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, sesuai amanat konstitusi Indonesia dan hukum internasional.
Militerisasi di Intan Jaya: Ketakutan yang Nyata
Dalam pernyataannya, IPMMI juga menyoroti peningkatan drastis jumlah militer organik dan non-organik di Intan Jaya sejak munculnya wacana tambang Blok Wabu. Mereka menyebut pos-pos TNI/Polri kini tersebar di distrik-distrik seperti Ugimba, Titigi, Mamba, Jalae, Mbaitujimpa, Agapa, Joutadi, Kemandoga, Sanepa, hingga Pogapa.
“Militer masuk bukan untuk melindungi rakyat, tapi untuk mengamankan kepentingan perusahaan tambang,” tegas mereka.
Menurut mahasiswa, keberadaan militer telah membatasi ruang gerak masyarakat adat. Warga harus meminta izin untuk ke kebun, mengisi pulsa, bahkan melakukan aktivitas sehari-hari. “Seolah-olah mereka tidak memiliki hak asasi sebagai manusia,” tambahnya.
IPMMI juga mengaitkan situasi ini dengan kondisi di wilayah Papua lainnya seperti Yahukimo, Puncak Jaya, Nduga, Maibrat, dan Asmat, yang sama-sama mengalami represi dan kekerasan akibat militerisasi. Mereka menyoroti penembakan warga sipil di Sugapa Lama, Asmat, dan Paniai sebagai bukti lemahnya perlindungan hukum terhadap rakyat Papua.
Pernyataan Sikap IPMMI Makassar
Sebagai bentuk solidaritas dan kepedulian terhadap tanah leluhur, IPMMI Kota Studi Makassar bersama mahasiswa Papua lainnya menyatakan enam poin sikap resmi:
1. Menolak PT Antam Tbk dan segala bentuk eksploitasi Blok Wabu di Intan Jaya.
2. Menuntut penarikan seluruh pasukan militer organik dan non-organik dari Intan Jaya dan seluruh Tanah Papua.
3. Menghentikan pembunuhan di luar hukum dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil di Tanah Papua.
4. Menghentikan intimidasi, teror, kriminalisasi, dan penyiksaan terhadap warga sipil.
5. Menolak pembangunan pos-pos militer di seluruh wilayah Papua.
6. Menolak penggunaan gedung gereja dan sekolah sebagai pos militer.
Mereka juga menyampaikan dukungan penuh kepada Tim Advokasi Tolak Eksploitasi Blok Wabu yang sedang melakukan audiensi dengan pemerintah pusat dan lembaga negara.
Blok Wabu Harus Dilindungi untuk Generasi Mendatang
IPMMI menegaskan, perjuangan menolak eksploitasi Blok Wabu bukan hanya untuk masyarakat Intan Jaya, tetapi untuk seluruh rakyat Papua dan dunia.
“Blok Wabu adalah simbol perjuangan mempertahankan kehidupan dan kemanusiaan. Jika alam hancur, manusia juga hancur,” tulis IPMMI dalam penutup pernyataan sikapnya.
Mereka menyerukan solidaritas lintas daerah agar pemerintah segera menghentikan semua bentuk perampasan tanah adat dan militerisasi di Tanah Papua.
“Kami bukan menolak pembangunan. Kami hanya menolak pembangunan yang mengorbankan manusia, alam, dan masa depan kami,” tegas mahasiswa IPMMI Makassar.